KABUPATEN Magelang memang layak disebut kawasan “wisata candi”. Memang, Candi Borobudur sebagai magnet utama, dan sudah terkenal di seluruh pelosok dunia.
Namun, selain Borobudur masih banyak peninggalan sejarah masa lalu di wilayah ini yang berupa candi-candi. Candi yang ada di wilayah Kabupaten Magelang tersebut merupakan peninggalan dari zaman Kerajaan Buddha dan Hindhu.
Dengan penemuan bangunan-bangunan bersejarah itu, menjadi bukti bahwa Kabupaten Magelang adalah bekas pusat peradaban manusia selama berabad-abad lampau.
Salah satu peninggalan bersejarah tersebut yakni Candi Ngawen yang terletak di Desa Ngawen, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang.
Baca juga Getuk Kajar Bakal Ikuti Festival Kuliner di Slovenia
Di atas lahan tanah seluas 3.556 meter persegi berdiri lima buah bangunan candi yang terletak hanya beberapa meter dari aliran Sungai Blongkeng yang berhulu dari Gunung Merapi.
Dari lima bangunan candi tersebut, hanya satu buah candi saja yang masih bisa dilihat secara utuh dan dapat dimasuki ruangannya.
Sementara empat bangunan lainnya , kini hanya bisa dilihat batu-batuan andesit yang berserakan. Batuan bekas bangunan candi tersebut berserakan, karena pernah diterjang lahar dingin yang berasal dari Gunung Merapi yang meletus ratusan tahun silam.
“Dari lima candi pengapit tersebut, kini yang bisa dilihat secara utuh hanya satu saja. Bangunan candi tersebut rusak karena pernah diterjang banjir lahar dingin Merapi, ratusan tahun silam,” kata Sumedi, juru pemeliharaan Candi Ngawen.
Sumedi mengatakan, akibat terjangan banjir lahar dingin tersebut, kelima bangunan candi tersebut rusak dan tidak berbentuk lagi.
Pada tahun 1911, saat dilakukan penggalian dan restorasi yang dilakukan Van Erp. Bangunan candi tersebut tenggelam akibat tertutup pasir Merapi yang mencapai ketinggian 2 meter.
Kompleks Candi Ngawen mencakup lima bangunan candi dengan letak berderet, terdiri dari dua candi induk dan tiga candi apit. Setelah dilakukan restorasi, hingga saat ini hanya satu bangunan candi yang dapat dilihat utuh. Sementara empat lainnya belum bisa direstorasi utuh.
Kendala untuk membangun kembali bangunan candi perpaduan kebudayaan Buddha dan Hindhu tersebut yakni untuk menyusun kembali batu-batuan candi memerlukan waktu yang tidak cepat.
Selain itu, juga diperlukan ketelitian dalam menyusun, karena masing-masing batu mempunyai ukiran-ukiran dari relief maupun sulur-sulur dari hiasan yang ada.
Tak Ditarik Biaya
Berbeda dengan Candi Borobudur, Pawon dan Mendut yang sering dikunjungi wisatawan asing maupun domestik, Candi Ngawen ini setiap harinya nyaris tidak ada yang mengunjungi. Meskipun untuk masuk obyek bersejarah tersebut tidak dipungut biaya sepeser pun.
“Kalau ada yang berkunjung ke sini hanya cukup mengisi buku tamu saja. Dan hingga saat ini belum ditarik ongkos tiket tanda masuk,” ujar Sumedi.
Menurutnya, pengunjung yang datang ke candi tersebut sebagian besar para pelajar di wilayah Kecamatan Muntilan dan sekitarnya yang ingin menambah wawasan nilai-nila sejarah kebudayaan Indonesia.
Baca juga Punthuk Setumbu, di Sini Rangga dan Cinta Memadu Kasih Lamanya
Sedangkan turis mancanegara yang datang hanya sebagian kecil, itu pun dibawa oleh pemandu wisata tertentu.
Ya, Candi Ngawen lokasinya tidak jauh dari pusat kota Muntilan. Memang, bisa saja tempat ini bukan menjadi tujuan utama perjalanan Anda. Tetapi, bila penasaran sehabis berkunjung ke Candi Borobudur, Mendut, Pawon, bisalah mampir di Ngawen.
Lagi pula, Magelang memang banyak sekali tujuan wisatanya. Di kawasan Borobudur, bukan hanya candi, tetapi balkondes di desa-desa kawasan Candi Borobudur juga menyajikan atraksi menarik. Rumah Kamera di Majaksingi, misalnya.
Atau desa-desa wisata di sekitarnya seperti Candirejo, Wanurejo, Ngargoretno, dan lain-lain. Sebutlah kalau berkunjung ke Candi Ngawen, itu sebagai extra fooding, atau dessert.
Sedangkan main course-nya Borobudur dan sekitarnya, atau Ketep dan atraksi wisata lainnya. Nah, sekali lagi, ke Candi Pawon gratis, hanya mengisi buku tamu.
Tetapi ingat, masih masa pandemi: Pakai masker, cuci tangan pakai sabun, jaga jarak.
Widiyas Cahyono.