Oleh: Amir Machmud NS
TAK pernah terlintas di benak, genangan banjir akhirnya mengunjungi ruang tamu rumah saya, sore 6 Februari kemarin. Bahkan air memasuki teras pun tak pernah terpikirkan.
Sudah sejak 2003, rumah 100 meter persegi di Jalan Kapas VI Perumahan Genuk Indah itu saya tinggikan. Saat itu menjadi rumah dengan teras tertinggi dari permukaan jalan di gang perumahan saya.
Renovasi itu merupakan jawaban atas ke-judheg-an menghadapi banjir yang setiap musim hujan menjadikan kompleks permukiman ini sebagai langganannya.
Dan, itu adalah “proyek” renovasi kedua setelah perbaikan pada 1994. Dalam proyeksi saya, hasil peninggian 18 tahun lalu itu masih cukup mampu untuk beradaptasi dengan potensi elevasi banjir hingga tahun 2023-an. Juga untuk menghadapi potensi penurunan tanah dan daya resapnya yang tiap tahun pasti terjadi di kota bawah Semarang.
Mengapa Kaget?
Setidak-tidaknya ada alasan mengapa saya dikagetkan oleh perilaku brutal banjir pada awal 2021 ini.
Pertama, perkiraan teknis bahwa kondisi ketinggian teras rumah saya dari permukaan jalan masih cukup aman. Kalaupun ada genangan, hanya sampai ke carport yang posisinya memang di bawah teras.
Kedua, dalam beberapa kali turun hujan, termasuk yang cukup lebat, tidak ada “early warning” bagi keamanan rumah. Kondisi masih oke-oke saja. Aman soleman, kata anak-anak milenial.
Ketiga, dalam dua tahun terakhir, Perumahan Genuk Indah relatif aman dari rambahan air. Walaupun turun hujan, tidak sampai memicu banjir serius.
Sebelumnya, rob yang pada tiap purnama menggenangi ruas depan Jalan Padi Raya di jalan utama masuk ke perumahan, boleh dibilang bisa dijinakkan. Pemerintah Kota Semarang tampak serius mengelola sungai dengan memberi kendali lewat pompa-pompa air di sejumlah titik muara sungai yang strategis.
Rob — yang merupakan bagian dari wajah keseharian kota bawah Semarang –, terbukti bisa dikelola dengan disiplin sistem pompa. Ini jelas membantu mengamankan permukiman rentan banjir seperti Genuk Indah, yang berada dalam jaringan akses Kali Tenggang, Kali Sringin, dan Kali Babon.
Maka dalam sebuah kesempatan bertemu Wali Kota Hendrar Prihadi, saya tanpa ragu memujinya, “Saya salut, panjenengan benar-benar berpihak kepada warga, dengan menata sungai-sungai dan drainase. Ini catatan hebat lho Pak Wali…”
Dalam sebuah wawancara dengan Radio Idola, saya juga menyampaikan apresiasi itu. Ketika itu saya menekankan satu hal, “Yang penting harus menjaga konsistensinya…”
Nah, konsistensi menjaga manajemen pompa air inilah yang tampaknya perlu diingatkan kembali.
Lalu, apakah terjangan banjir mulai 5 dan 6 Februari kemarin antara lain dipicu oleh persoalan konsistensi pengelolaan pengendalian? Jangan-jangan sejumlah pompa pengendali itu tidak optimal berfungsi: bisa karena masalah maintenance atau biaya operasional?
Ataukah semata-mata karena faktor alam? Hujan lebih dari 12 jam kemarin, seperti kata Menteri PU Basuki merupakan siklus alam 50 tahunan?
Atau lagi-lagi kita diingatkan tentang konsistensi politik tata ruang? Artinya, keseimbangan antara pembangunan kawasan atas yang njomplang dengan kemauan merawat kota bawah?
Realitas Pilihan
Tinggal di kota bawah tentu merupakan realitas pilihan. Bisa karena faktor-faktor ekonomis, praktis, sosiologis, atau psikologis. Akan tetapi, satu hal yang pasti: tidak ada warga yang senang setiap tahun berurusan dengan terjangan banjir.
Doa orang-orang kota bawah mungkin bisa dipahami, “Semoga hujannya tidak lama-lama dan tidak menimbulkan banjir”. Atau, “Hujan oke, nanging aja suwe-suwe…”
Atau juga, kita mungkin berpikir, seolah-olah tabungan dari menyisihkan hasil kerja ujung-ujungnya hanya untuk persiapan proyek meninggikan rumah setiap periode tertentu.
Nyatanya, Genuk Indah adalah salah satu contoh perumahan yang sebenarnya sudah kurang fisibel dan kondusif dari kerentanan banjir, tetapi sejak kira-kira tahun 2003 tampak kembali sumringah. Banyak bangunan yang terbilang mewah didirikan. Ya, untuk rumah-rumah kos mahasiswa yang banyak dibangun secara eksklusif dan eksotik dalam beragam kelas.
Secara jarak, Genuk Indah yang kini boleh dibilang sebagai “Kampung Unissula” sangat praktis untuk anak-anak dari kampus perguruan tinggi swasta di Jalan Raya Kaligawe Km 4 itu.
Ayo Pak Wali, kita pikirkan: masih adakah solusi yang memberi harapan untuk masa depan kawasan ini? Bukan hanya permukimannya, tetapi juga kenyamanan aksesnya.
– Penulis adalah warga Kota Semarang yang tinggal di Perumahan Genuk Indah