Oleh: Amir Machmud NS
KAU tentu merasakan bukan, betapa puitis sepak bola?
Pemain bintang ibarat penyair yang menggurat narasi lewat diksi-diksi dari kekuatan ekspresi seni. Bahkan pemain yang sebengal Viny Jones, Paul Gascoigne, Eric Cantona, Antonio Cassano, atau Mario Balotelli pun menyimpan ungkapan berbait-bait sajak.
Pelatih pintar adalah narasi elok dalam syair. Gol-gol adalah produk seni anggitan karya-cipta-karsa manusia. Gaya dan taktik permainan adalah pilihan diksi, dari rangkaian huruf menjadi untai kalimat dan struktur bangunan keagungan karya yang membahasakan makna.
Betapa puitis Pele, Diego Maradona, Ronaldo Nazario, Ronaldinho, Zinedine Zidane, Cristiano Ronaldo, atau Lionel Messi. Itulah celah hati dan rasa untuk melihat dengan cara yang sama terhadap Mario Zagalo, Tele Santana, Helenio Herrera, Luis Cesar Menotti, Helmut Schoen, Enzo Bearzot, Rinus Michels, hingga Alex Ferguson, Jose Mourinho, Vicente del Bosque, Didier Deschamp, Pep Guardiola, dan Juergen Klopp sebagai tebaran manusia penuh cahaya syair; tak cukup membahasakan mereka dengan kesimpulan mengenai A, B, C watak-watak manusia.
Seutuhnya, para tokoh itu adalah bahasa tanda tentang manusia, ide, seni, dan kemanusiaan.
Kau pasti juga menghayati, 22 pemain yang berlaga di kehijauan rumput teater megah sebuah stadion sedang memerankan lakon kehidupan. Mereka memainkan peran dalam kemasan konser konfrontatif tentang nilai-nilai perjuangan. Ada pantulan tentang katarsis hdup manusia di sana.
Di panggung bola tertuang bermacam-macam karakter, dan jadilah lapangan itu formasi orkes kehidupan yang bergerak, terus bergerak dengan latar irama senandung laga, lantunan denting kecapi, partitur yang memformulasikan secara dinamis manusia-manusia dengan spirit, elan, dan etosnya.
Kau mungkin masih ingat, empu bola Argentina, Cesar Menotti pernah mengatakan, tim sepak bola tanpa pemain bintang ibarat negeri yang tanpa penyair. Pelatih berideologi “kiri” itu hendak membahasakan betapa permainan butuh imajinasi, sebuah kesebelasan butuh sosok yang menginspirasi, mampu memberi daya hidup, angan perubahan, dan mengguncang kemapanan. Itulah ruh yang “menghidupkan”.
Menotti, peracik taktik Tim Tango juara Piala Dunia 1978 dan membimbing Maradona cs meraih trofi junior 1979 memberi kebebasan berimajinasi bagi para pemain bintangnya. Pergerakan lentur Osvaldo Ardilles — lembut cerdik di tengah tubuh-tubuh kekar dan gestur kejam rekannya — tampak begitu puitis dalam tim 1978. Kau pastilah mengenang pula, betapa liar Diego Maradona mengekspresikan “ayat-ayat” sepak bola saat mengonduktori tim junior 1979.
Pembuktian eksistensi karier Gianluigi Buffon dan Zlatan Ibrahimovic dalam usia yang menyentuh kepala empat, keperkasaan fisik Ronaldo, dan kemuraman hari-hari Messi di ujung kebersamaan dengan Barcelona, menorehkan sajak-sajak dan filosofi kehidupan di kanvas kemanusiaan.
Merekalah ekspresi anak manusia dalam berjuang untuk selalu “ada”, manusia yang berkehendak kuat untuk “berbeda”, dan manusia yang betapa pun bersematkan predikat sebagai alien, toh tetap saja anak yang berkelindan dengan keresahan, kemarahan, dan keinginan bebas merdeka. Sepak bola, dengan narasi puitiknya, menjadi angan pembebasan kreasi.
* * *
CATATLAH, para ahli dari berbagai disiplin ilmu meneliti permainan olahraga ini untuk memburu kesimpulan: apa dan bagaimana, mengapa dan ada apa; refleksi dan analogi kehidupan dari sisi yang mana; untuk digali sampai ke detail kedalaman, karena tak mungkin tidak ada apa-apa mengapa sepak bola begitu “diimani” oleh umat manusia sejagat sebagai ritus yang membuat seolah-olah kita “intrance”.
Dia bukan hanya ritus sosial dengan segala misteri dan histerianya, namun bahkan telah menaklukkan hati manusia: mempertemukan, memersatukan, memobilisasinya dalam kesamaan rasa dan cara pandang; semacam dakwah bagi syiar “memeluk agama” bernama sepak bola.
Kau resapilah, bukankah puisi-puisi sepak bola laksana mengepung hari-hari kita dengan ayat-ayat keindahan, romantisme, pergulatan rasa dalam ungkapan gembira, sedih, marah, dan berjuta rasa? Juga doktrin-doktrin “ideologis” yang membedakan rezim sepak bola Herrera, rezim Santana, rezim Johan Cruyff, atau rezim Guardiola. Permainan yang telah dikemas sebagai industri bergurita kapitalistis, namun tetap menebar buih-buih syair keindahan.
Jadi mengapa saya selalu mengekspresikan penghayatan, opini, dan perenungan tentang dinamika industri sepak bola lewat puisi-puisi?
Ya, sangat menyederhanakan makna apabila kau mendekati dan memahami sepak bola hanya sebagai tontonan dua tim yang bertanding, lalu kalian hanya menanti kemenangan, kekalahan, atau skor imbang. Ada segi-segi kehidupan yang lembut-menyentuh dari olahraga ini, yang bermukim dalam lipatan tersembunyi.
Acapkali, nikmatilah dia, sepak bola: sebagai puisi…
Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Provinsi Jateng