blank
Ganjar Pranowo saat memberikan sambutannya pada Peringatan Hari Ibu ke-92, di Kelurahan Purwosari, Kecamatan Mijen, Semarang, Selasa (15/12/2020). Foto: dok/ist

SEMARANG (SUARABARU.ID)– Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, mengingatkan pentingnya edukasi ramah perempuan bagi laki-laki. Menurutnya, hal itu merupakan cara untuk mengeliminasi kekerasan terhadap perempuan, yang acapkali terjadi di lingkungan rumah tangga.

Dikatakan dia, perempuan terutama kaum ibu, menghadapi tantangan di tengah pandemi covid-19. Sedangkan perempuan seringkali masih berhadapan dengan perpektif gender, yang menyudutkan peran mereka.

Namun kini dengan dukungan dari segenap pihak, semakin banyak orang yang berani melapor. Dukungan dari pemerintah juga diwujudkan dengan pembuatan shelter pelaporan.

BACA JUGA : Bus Anti-Corona Diapresiasi Ganjar Pranowo

”Kekerasan terhadap perempuan, ini isu yang makin terbuka. Orang mulai berani melapor. Kepolisian bekerja sama dengan kita, tempat perlindungan sudah dibuat. Edukasi juga penting, terutama untuk bapak-bapak, karena pelaku kekerasan itu biasanya bapak-bapak (pria-red),” ujarnya.

Saat Peringatan Hari Ibu ke-92, di Kelurahan Purwosari, Kecamatan Mijen, Semarang, Selasa (15/12/2020) ini, Ganjar mengungkapkan, banyak isu perempuan yang harus didorong untuk menghapus stigma negatif terhadap kaum hawa ini. Seperti stigma ekonomi, partisipasi politik, hingga pendidikan rendah.

”Banyak agenda yang mesti didorong, isu tentang ibu dan perempuan. Perempuan dan ekonomi, pendidikan program pemberdayaan dieksekusi, termasuk isu lingkungan. Isu sosial dan sebagainya, agar perempuan makin berdaya,” papar Ganjar.

Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Jateng, Retno Sudewi menambahkan, untuk memangkas kekerasan terhadap ibu, pihaknya telah membuat tim hingga pelosok desa.

Pernikahan Dini
”Dulu tidak berani melapor. Tetapi sekarang, di tingkat desa sudah ada tempat perlindungan perempuan. Bisa melapor ke sana, nanti jika tidak bisa akan dirujuk ke tingkat kecamatan dan kabupaten,” ucapnya.

Selain kekerasan terhadap perempuan, pihaknya juga menggencarkan kampanye antinikah dini. Hingga Oktober 2020, tercatat sudah ada sekitar 10 ribu kasus pernikahan dini di Jateng.

Kasus pernikahan dini di Jateng ini, karena ketidaktahuan atas peraturan baru UU 16/2019 tentang perkawinan. Di sana diatur, usia minimal bagi perempuan menikah berganti menjadi 19 tahun, dari sebelumnya 16 tahun.

Menurutnya, selain sosialisasi yang belum merata, ekonomi dan pergaulan juga menjadi sebab. Padahal pernikahan dini tidak sehat bagi perempuan. Selain organ reproduksi belum siap, kesehatan mental dalam pernikahan juga dipandang masih labil.

”Faktor ekonomi, budaya ada pula hamil duluan, itu yang menjadi beberapa penyebabnya. Budaya juga sangat memengaruhi. Jadi penting dilakukan sosialisasi masif. Saat ini kami melakukannya dengan program ‘Jo Kawin Bocah’. Yang kami lakukan secara pentahelix, termasuk di media,” pungkas Dewi, sapaan akrabnya.

Hery Priyono-Riyan