SEMARANG (SUARABARU.ID) – Santri dan pondok pesantren (ponpes) memiliki budaya sendiri dalam menyikapi berbagai hal apapun yang terjadi, salah satunya dalam menghadapi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.
Hal tersebut diungkapkan Sekretaris Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI), Abu Choir, yang juga Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Jateng dalam acara webinar Santri Sehat Indonesia Kuat, Jogo Santri di Masa Pandemi Covid-19, Kamis (22/10/2020).
“Pesantren jangan hanya dijadikan obyek, oleh sebab itu dalam menangani sebaran Covid-19, ponpes lebih tepat jika dijadikan sebagai subyek. Pesantren hanya membutuhkan stimulasi, karena ponpes merupakan lembaga pendidikan yang mandiri yang berbeda dengan lembaga pendidikan umum lainnya,” ujarnya.
Webinar yang digelar Yayasan Setara bersama LPPM Undip dan di dukung UNICEF dalam peringatan Hari Santri Nasional, Abu Choir menuturkan kalau sebenarnya jumlah paparan Covid-19 seperti gunung es, karena selama ini pesantren cenderung tertutup.
“Ada ketakutan pesantren harus tutup jika ada kasus santri yang terpapar Covid. Pandemi ini adalah persoalan bersama, bukan hanya pesantren. Harus ada keterbukaan agar ada tindakan yang diperlukan,” katanya.
Pesantren yang terpapar Covid-19 di Jawa Tengah yang terdata di Pati ada satu, Wonogiri satu, Kebumen ada enam, Banyumas ada dua, Cilacap satu pesantren, dan di Kendal juga satu pesantren. Paparan Covid-19 itu tidak terjadi bersamaan waktunya, yang satu tertangani, muncul klaster di ponpes lain.
Abu Choir juga mengingatkan pemerintah untuk tidak terburu-buru mengambil keputusan melakukan swab massal di pesantren tanpa mempersiapkan terlebih dahulu sarana dan prasarana pendukung. Termasuk memikirkan dampak sosial yang mungkin timbul.
Dalam kasus santri terpapar Covid-19 di Banyumas, sebagai contoh, ternyata membutuhkan ruang isolasi yang banyak.
“Sebab jika yang positif terpapar jumlahnya ribuan bagaimana? Juga nutrisinya, siapa yang menanggung makan? Jika sebuah pesantren diumumkan ada yang positif terpapar Covid, maka masyarakat akan menjauhi pesantren. Karena itulah dalam hal ini bukan sekadar soal positif dan negatif soal Covid,” tuturnya.
Ia menegaskan bahwa untuk menangani kasus Covid-19 di pesantren pendekatannya memang harus berbeda dengan masyarakat umum.
“Semoga ada titik temu. Ada program Jogo Santri, Jogo Kyai. Kami berharap semua terbuka. Pondok pesantren maupun pemerintah sama-sama terbuka. Semua tersenyum, maka akan terwujud pesantren yang sehat dan kuat di Jawa Tengah,” kata Abu.
Sementara itu berdasarkan data yang disampaikan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo pada Senin (19/10/2020), ada 923 kasus Covid-19 di klaster pondok pesantren di Jateng. Jumlah itu secara prosentase sebanyak 44,6 persen dari total keseluruhan paparan Covid.
Dari jumlah itu 123 orang dirawat di ruang isolasi khusus, 446 karantina mandiri, 82 orang dirawat di rumah sakit, dan 272 sembuh.
Sementara itu, Kepala Kantor UNICEF Perwakilan Jawa dan juga menjabat sebagai Tim Komunikasi Satgas Covid-19, Arie Rukmantara, mengatakan kalau program Jogo Santri bisa jadi suri-tauladan dalam memutus mata-rantai Covid-19.
“Secara kwantitatif anak-anak yang terpapar Covid memang tidak besar. Namun satu anak pun jangan sampai kena Covid-19. Oleh sebab itu memang harus ada perubahan melaksanakan pendidikan,” katanya.
Arie mengatakan, untuk saat ini para santri ponpes berubah cara belajarnya dan harus beradaptasi. Dengan cara belajar yang dimodifikasi, ponpes mampu mencari cara terbaik sistem pembalajaran di masa pandemi.
“Harus beradaptasi dan dimodifikasi sistem belajarnya, sebab pandemi tidak berakhir dalam waktu yang cepat,” kata Arie.