Oleh: Amir Machmud NS
//… dia si badut// yang tidak sedang membadut// dia si genius// yang tidak sadar kejeniusannya// dia dirindukan// yang tak pernah paham dinanti// perlahan-lahan dia pergi// tiba-tiba sudah ada di jauh sana// (Sajak “Paul Gascoigne”, 2020)
RINDU muncul ketika kita tidak segera mendapatkan apa yang kita harapkan. Rindu datang ketika kita merasa begitu cepat kehilangan. Rindu hadir ketika begitu lama kita menanti untuk bisa menemuinya lagi.
Begitu pendek masa edar Paul “Gazza” Gascoigne. Dunia hanya mendapatkan kehebatannya dalam rentang dasawarsa 1990-an. Dia seperti mengulang sejarah orbit superstar Irlandia Utara George Best pada dekade 1960-an, yang meroket lalu cepat meredup karena terlilit ketergantungan pada alkohol.
Pelarian kesuntukan yang adiktif membuat Gazza kehilangan ke-Gascoigne-annya. Kecanduan berat Best, yang mengantar Manchester United juara Piala Champions 1968 juga cepat memudarkan kedahsyatannya. Sepak bola pun menyesali kehilangan aksi-aksi hebat si “play boy lapangan hijau”.
Sepak bola sering dirumun kerinduan kepada romantisme masa lalu. Perasaan itu terkadang mendorong penginspirasian kelahiran kembali, lewat ungkapan-ungkapan mediatika yang membuat label Pele Baru, Next Maradona, Zidane Baru, dan kini New Messi atau New Ronaldo. Reinkarnasi George Best, dan — terutama — Paul Gascoigne juga menjadi momen yang sangat dirindukan oleh publik sepak bola Inggris.
Pada awal 2000-an, Joe Cole yang meroket di West Ham United, berkembang di Chelsea, lalu berlabuh ke Liverpool membawa predikat sebagai New Gascoigne. Spesialis sayap itu dinilai punya kapasitas teknik dan gaya bermain mirip Gazza. Namun seni olah bola dan pengaruh Joe Cole dalam tim jelas tidak sekuat seniornya.
Berikutnya Ross Barkley. Bakatnya terasah bersama Everton, bahkan sempat dibawa pelatih tim nasional Roy Hodgson ke Piala Eropa 2016 sebagai salah satu young gun. Tetapi hingga dia berganti jersey Chelsea, predikat sebagai New Gascoigne hanya melekat tanpa pembuktian aksi-aksi yang sepadan.
* * *
GAZZA muda tumbuh bersama Newscastle United, lalu menjulang di Tottenham Hotspur pada semester kedua 1980-an. Dia betul-betul mencahayai tim Piala Dunia 1990 racikan Bobby Robson. Di barisan tengah, Gazza menjadi pemain muda paling menonjol di samping David Platt, untuk mendampingi Bryan Robson, Steve McMahon, Steve McManaman, dan Glenn Hoddle.
Si Badut mencapai puncak performa di Euro 1996, saat berkolaborasi dengan Teddy Sheringham, Darren Anderton, dan McManaman. Walaupun Inggris terhenti di semifinal lewat adu penalti melawan Jerman, aksi-aksi Gazza bakal terus dikenang. Dia menjadi pengatur permainan Tim Tiga Singa asuhan Terry Venables. Salah satu gol ke gawang Skotlandia dicetak melalui proses genius berteknik tinggi, yang disebut-sebut setara dengan gol Pele ke gawang Swedia dalam final Piala Dunia 1958.
Sayang, hidup Gascoigne berantakan. Dia gagal menaklukkan dirinya sendiri. Perilaku alkoholik membuat dia gagal bersinar ketika direkrut Lazio selepas Piala Dunia 1990. Gazza baru menemukan lagi penikmatan permainan bersama Glasgow Rangers pada 1995-1998, antara lain menerima penghargaan Pemain Terbaik Liga Skotlandia 1996. Selepas dari Rangers, dia seperti sekadar mencari menit bermain di Everton, Middlesbrough, Burnley, Gansu Tianma, dan Boston United dengan rentang kebersamaan yang semuanya singkat.
Inggris dililit kerinduan untuk memiliki lagi bintang sekelas Gascoigne. Pemain yang menyuguhkan cara bermain yang berbeda ekstrem dengan karakter Inggris Raya yang direct. Visi, gocekan, dan kecerdasan mencari celah dalam mengumpan benar-benar khas Gascoigne. Kemampuan mengecoh lawan lewat gerakan deseptif rainbow flick menyamai magi-magi Samba para bintang Brazil.
Gascoigne bermain bola dengan naluri penghayatan ala penari yang intrance memaknai spiritualitas gerakannya. Jika Anda mengulik video rekaman aksi-aksinya bersama Spurs dan timnas Tiga Singa, “kegilaan-kegilaan” Gazza itu akan Anda dapatkan.
Inilah yang membedakan mengapa tidak sembarang pemain bisa disetarakan dengan Gascoigne. Beralasan apabila pelatih timnas Inggris, Gareth Southgate menampik penyamaan Jack Grealish dengan sang legenda. Southgate pernah satu tim bersama Gazza di Euro 1996.
Southgate sadar tidak ingin mengurangi antusiasme soal Jack. Akan tetapi, seperti dikutip dari TeamTalk, “Saya selalu menjawab dengan jujur tentang seseorang. Ketika Anda berbicara tentang Gascoigne, menurut saya tidak ada pemain dalam sejarah Inggris yang berada di level itu”.
Dia menegaskan tidak ingin pernyataannya itu tampak seperti kritik terhadap Grealish. Dia hanya merasa Gascoigne sangat unik, dan merupakan pemain yang luar biasa, seperti membicarakan tentang Bobby Moore pada masanya.
* * *
GREALISH, yang urung digaet Mancheter United pada musim ini dari Aston Villa, memang sedang menjadi trending topic. Dia membawa Villa menyapu kemenangan di tiga laga, antara lain dengan membantai juara bertahan Liverpool 7-2. Grealish berandil besar dengan menyumbang dua gol dan tiga assist.
Kecemerlangannya berlanjut ke timnas. Menjadi starter saat berhadapan dengan Wales dalam babak grup UEFA Nations League, pemain 25 tahun ini menjadi motor serangan. Grealish menyumbang satu assist untuk Dominic Calvert-Kewin dalam kemenangan 3-0 di laga ini.
Mantan pelatih timnas, Steve McClaren memuji Grealish mirip Paul Gascoigne. “Sudah lama kami tidak memiliki tipe pemain seperti Gazza,” ungkap McClaren dalam Stats Perform News.
Inggris pada era kepemimpinan Southgate memang dilimpahi talenta muda berbakat, yang antara lain dia bawa ke Piala Dunia 2018. Kemunculan Jack Grealish, dengan atau tanpa label sebagai New Gascoigne tentu adalah berkah. Mungkin dengan tujuan memproteksi pemainnya dari usikan rasa cepat puas, besar kepala, dan virus selebritas, dia buru-buru menampik pengidentifikasian Grealish dengan Gazza. Itu adalah cara seorang pelatih.
Biarlah yang mekar akan berkembang alamiah. Sejarah pahit George Best dan Gascoigne seharusnya menjadi buku pendidikan untuk para pemain mana pun, termasuk Grealish, juga tiga pemain muda berlabel bintang yang mnjalani hukuman indisipliner, yakni Mason Greenwood, dan Phil Foden, dan Jadon Sancho.
Sebagai “bapak”, sikap Gareth Southgate sudah tepat dan bijak menjaga mereka…