blank
Ilustrasi Madinah Al Munawarah. Foto : SB/dok

Oleh Dr KH Muchotob Hamzah MM

Madinah bermakna tempat ketaatan, juga berarti kota. Kota adalah tempat orang berbudaya dan berperadaban. Madinah dari kata “Dien” yang berarti ketaatan. Daana-yadiinu-diinan=ketaatan.

Daana-yadiinu-dainan=hutang yang harus ditaati pembayarannya. Daana-yaduunu-daunan=rendah. Orang yang posisinya diminta taat pada pemerintahan yang ada. Di zaman old, Madin=budak laki-laki. Madinah=budak perempuan.

Pada era Rasul SAW. disebut kota yang munawarah=dibercahayakan dan salah satu indikasinya budak dimerdekakan (Al-Balad: 13).

Pada era sejanjutnya, kota dipandang sebagai masyarakat berkemajuan yang sekarang disebut masyarakat madani. Masyarakat madani hidup dalam negara penglayanan atau service state yang memiliki karakter keseimbangan kekuatan antara negara dan masyarakatnya.

Negara kuat, masyarakat sipilnya kuat. Berbeda dengan flexible state yang memiliki karakter negara kuat dan masyarakatnya belum sekuat negara.

Atau developmental state, dengan posisi negaranya kuat, tetapi masyarakatnya lemah. Apalagi predator state di mana negara dan masyarakat sama-sama lemah.

Negara Madinah cermin keseimbangan antara negara dan masyarakatnya. Meskipun posisi Nabi Muhammad SAW. mencakup peran legislatif, eksekutif dan yudikatif, tetapi para ahli sejarah yang obyektif baik dari barat atau timur melihat beliau sebagai sosok unik dan istimewa.

Beliau jauh dari kata arogans, dispotis, nepotis, egois dan seterusnya. Kalau mau dibilang nepotisme seperti yang kita lihat hari ini, nepotisme Nabi Muhammad SAW. sangat aneh. Beliau nepotisne dalam perang Badar.

Ketika kafir menantang duel, beliau menunjuk Hamzah bin Abdul Muthalib (pamannya), Ali bin Abi Thalib (adik sepupu dan menantunya), dan Ubaidah al-Harits (adik sepupunya). Sunnah fi’liyah beliau tidak berkenan bagi terwujudnya kezaliman serta menjauhkan negara Madinah menjadi kerajaan monarchi.

Tetapi, sepeninggal beliau dan khulafa’rasyidin, tejadilah perubahan-perubahan yang secara nubuwwah beliau tahu juga. Sejak lahirnya kaum Khawarij, muncullah ideologi eksklusif yang melipatgandakan bertambah banyaknya kekerasan dan peperangan.

Mengkafirkan sesama ahli kiblat yang sangat dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. mulai dijadikan kebiasaan ketika ada perbedaan khususnya perbedaan ideologi atau sekedar platform politik atau bahkan beda figur pilihan.

Enam Indikator

blank
Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo, Dr KH Mukhotob Hamzah, MM. Foto : Muharno Zarka

Ekseklusifisme sekarib dengan radikalisme sebagaimana diutarakan oleh Syeikh Yusuf Qardhawi indikatornya adalah: Pertama, fanatik pada pendapat diri atau anutannya dan melecehkan pendapat orang lain.

Kedua, memaksakan pendapatnya kepada orang lain hal yang tidak diwajibkan oleh Allah SWT. Ketiga, sikap berlebihan seperti keinginan mendirkan negara Islam di negara mayoritas non Islam.

Keempat, memiliki sikap keras dan pedas dalam kata dan tindakan-tindakannya. Kelima, suuzhan dan menyalah-nyalahkan orang lain.

Keenam, men-takfir dan mentahlil darah dan harta orang di luar diri atau kelompoknya tanpa melihat kehormatan orang lain.

Ahli sejarah menafsirkan bahwa keutusan Nabi Muhammad SAW di Arab sana, salah satu hikmahnya adalah keadaan watak bangsa Arab yang keras tersebut.

Meskipun tugas beliau untuk seluruh manusia, tetapi terutama dimulai dari bangsa Arab yang memiliki DNA kekerasan untuk agar menapaki hidup dalam jalan damai (salmun-silmun-salaamah).

Nabi Muhammad SAW. sangat sukses mengubah bangsa yang haus darah menjadi bangsa yang santun dan rendah hati di al-Madinah al-Munawarah.

Sikap inklusifisme Madinah zaman beliau dikenang sepanjang sejarah. Ketika delegasi nashrani Najran akan menunaikan kebaktian, beliau menyilakan mereka melakukannya di Masjid Nabawi.

Padahal sebelumnya kekerasan dalam kehidupan mereka sangat mencolok seperti diungkap oleh Hitti dari omongan mereka: “Okr business is to make raids on the enemy, on our neighbour and on own brother, in case we find none to raid but a brother”.

Pekerjaan kita adalah memangsa musuh atau tetangga bahkan saudara selagi yang lain tidak ada kecuali saudara (Philip K. Hitti dalam Wahyu Purnama Sidi).

Wallaahu A’lam bis-Shawaab!

Penulis, Dr KH Mukhotob Hamzah MM, Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo