SAYA mulai menulis buku sejak Juli 1995. Sebelumnya tak pernah membayangkan akan menulis buku. Berawal ketika tren tenaga dalam melanda Indonesia, ada wartawan senior memberi ide kepada saya untuk menulis tentang tenaga dalam.
Berawal dari tulisan lepas, kemudian menjadi rubrik, dan tiga tahun kemudian tulisan pada kolom di sebuah harian itu menjadi buku. Walau tulisan-tulisan saya bertajuk “Tenaga Dalam” kajian saya dari waktu kewaktu bergeser ke arah metafisika dan atau ilmu hikmah. Itu karena awal tahun 2000-an tren tenaga dalam mulai menurun.
Ketika rubrik itu berakhir, saya lebih fokus menulis buku yang juga megupas masalah metafisika. Porsi tulisan tentang tenaga dalam mulai berkurang. Hal itu karena faktor zaman dan usia. Hingga tulisan yang semula dominan unsur power (tenaga dalam – kanuragan), lalu bergeser ke arah yang lebih menyentuh sisi-sisi batin.
Sastra Lisan
Ketika tenaga dalam mulai surut, buku-buku tentang ilmu hikmah (metafisika) menunjukkan tren meningkat. Bahkan oleh penerbit saya diminta masuk wilayah itu, pertimbangannya dari sisi pasar. Apalagi informasi dari bagian pemasaran, setiap buku yang pada sampulnya tertera nama saya, sangat laris. “Nama sampeyan sedang laku,” kata direktur penerbit.
Dari sisi referensi penulisan, saya kalah dengan penulis buku ilmu hikmah yang rata-rata bergelar ustad dan jebolan pesantren. Sedangkan modal saya menulis itu karena faktor pengalaman lapangan, jadi saat menulis seperti mendongeng apa yang pernah saya alami dan saya ajarkan, sehingga tak banyak membuka buku mencari referensi. Ini berbeda dengan penulisan naskah hasil dari menerjamah yang lebih njlimet, apalagi mereka terikat dengan tradisi sanad.
Persaingan ketat itu membuat para penulis adu cepat. Dampak buru-buru pun berisiko. Sering terjadi setelah buku terbit, diketahui ada tulisan yang tak layak disuguhkan pada publik. Dan tren penulisan hasil menerjamah itu, ditambah materi keilmuan yang tidak terdapat pada kitab induknya.
Dampaknya, kadang terjadi “kecerobohan” hingga ada materi yang tak layak disuguhkan pada publik, misalnya ilmu-ilmu jahil: “menggelintir merica” agar lawan jenis yang dituju mencapai orgasme, menutup pandangan calon pembeli agar warung kelihatan tutup, membuka gembok, dan konsep-konsep yang identik dengan santet atau sihir, dsb.
Tren adu cepat menulis itu berdampak. Setelah buku beredar di pasaran muncul reaksi dari publik. Beberapa kali penerbit menarik kembali buku yang sudah telanjur beredar karena didalamnya ada tulisan yang tidak patut.
Seringnya terjadi “kecelakaan” itu membuat penerbit bersikap. Saya selain tetap menulis, oleh penerbit diminta membantu menyeleksi naskah yang masuk. Jika dianggap layak namun ada bagian-bagian yang perlu disempurnakan, saya diminta menelitinya.
Kejadian macam itu kontradiktif dengan buku Ilmu Hikmah. Karena asal-usul ilmu hikmah itu mulanya tradisi sastra lisan pesantren dan sejarah perkembangan pelaku tarekat melalui sarana wirid, puji-pujian, mujahadahah dan tradisi seputar mistis yang sudah melembaga dan mewarnai aktivitas para santri, kiai bahkan para mursyid.
Dan karena itulah, para pelaku ilmu hikmah sering dimintai nasihat, ijazah wirid, doa oleh meraka yang memerlukan, dan dimana pun ada keterkaitan antara ilmu hikmah dengan pelaku tarekat.
Salah satu perkembangan Ilmu Hikmah di Jawa itu, bermula sejak ditemukan naskah tulisan tangan Arab pegon bahasa lama (Kawi). Dan peninggalan itu salah satunya dari pengamal tarikat di Gunung Ciremai Jawa Barat. Naskah itu berisikan berbagai doa, zikir, wirid dan hizib, dari bahasa Arab dan bahasa gabungan Arab, Jawa dan Sunda.
Naskah kuno itu sebelum menerangkan berbagai doa, zikir, wirid dan hizib, terlebih dahulu menjelaskan dasar-dasar ilmu tauhid seperti yang dibahas dalam kitab Aqidatul Awam dan Ummul Barahin dan tata cara beribadah beserta adab tatakrama seperti yang tercantum dalam kitab safinatush shalat dan Bidayatul Hidayah.
Pada naskah itu terdapat tiga macam hizib yang dalam dunia persilatan disebut Hizib Saifi Angin, Hizib Saifi Geni, dan Hizib Saifi Banyu. Artinya, untuk mempelajari ilmu hikmah mestinya ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh para pengamalnya.
Karena idealnya sebelum mempelajari ilmu hikmah, sebaiknya melalui tahapan seperti tersebut diatas, atau setidaknya memahami ayat-ayat alquran dan hikmahnya (termasuk nilai magis) yang terkandung di dalamnya. Namun dalam perjalanan waktu, faktor “praktis” yang disebabkan faktor zaman teknologi “instan” itu kemudian memangkas tahapan itu dan memposisikannya sebagai ilmu tersendiri dari tahapan yang seharusnya dilalui.
Dan lazimnya, mereka yang belajar ilmu hikmah tanpa disertai belajar ilmu agama (tauhid, fiqih, nahwu, tasawuf), dll disebut sesepuh, kamitua, orang pintar, spiritualis, bahkan dukun atau paranormal. Jadi, kalau ada yang mengajarkan dan menjalankan ilmu untuk tujuan maksiat. Misalnya membangkitkan birahi perempuan dengan memelintir merica, itu sudah keluar dari konteks ilmu hikmah, karena ilmu hikmah itu yang dituju adalah mendekatkan diri kepada-Nya dan bukan untuk maksiat.
Tentang “kejahatan supranatural” seperti itu jelas-jelas diharamkan dan dosa besar. Dan semua itu ukurannya pada etika dan agama, selain juga pertimbangan antara manfaat dan madharat, juga pertimbangan lain, merugikan hak-hak orang lain atau tidak, karena apa yang kita tanam suatu saat akan kita rasakan dan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan.
Masruri, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan, Cluwak, Pati.