Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
(Senin hari ini, tanggal sangat tua di bulan Agustus, Justru harus tetap ceria karena esok, adalah hari paling muda)
PERTANYAAN ini sekedar pengingat saja berhubung manungsa kuwi gampang lali: Apakah gerakan jaga tangga (banyak yang menulis seperti ucapannya, jogo tonggo, padahal kurang pas) masih terus bergerak dan bergaung?
Pertanyaan ini wajar dimunculkan mengingat fluktuasi status dan kasus Corona di masing-masing daerah berbeda-beda, merah-kuning-hijaunya. Perbedaan status itu sangat mungkin memengaruhi gradasi dan intensitas gerakan jaga tangga. Wajar!
Meskipun mungkin dianggap sudah terlambat, judul “Jaga tangga: jangan mbiyak wangkong” ini, juga sebuah pengingat saja. Di saat-saat akhir sebuah gerakan (semoga begitu, amin), bukan tidak mustahil segala sesuatu menjadi longgar.
Kalau awalnya dulu gerakan jaga tangga dilandasi dengan rambu-rambu tegas-teges-cetha, bukan tidak mungkin kini agak longgar. Kalau kemarin-kemarin suasananya serius-cepet-padhet, bisa jadi saat ini agak santai (eh santuy), wis wani guyon nyek-nyekan.
mBiyak Wangkong
Nah… kondisi wis wani guyon maneh seperti inilah, jika kurang control berhubung meluap-luap kegembiraan dan keinginannya; ada bahaya kebablasen lan kebanteren, lalu mbiyak wangkong.
mBiyak itu artinya buka, seperti orang membuka korden hanya sedikit saja ketika mendengar di luar pagar kok ketoke ana swara. Mirip-mirip dengan mengintiplah. Adapun wangkong itu artinya (maaf) bokong, pantat; oleh karena itu dalam arti “mentah” mbiyak wangkong ialah membuka (mengintip) pantat orang. Sementara makna yang terkandung sebenarnya ialah ngandhakake wadine liyan, yaitu membeberkan rahasia-rahasia orang lain.
Dalam gerakan jaga tangga, tidak mustahil orang menemukan atau mengetahui ada rahasia-rahasia terkuak entah yang menyangkut keluarga, instansi, kelompok, atau siapalah.
Misalnya, warga sekitar baru tahu kalau rumah bernomor 111 di jalan Kenanga wangi, itu bapaknya kerja dan tinggal di luar kota dan belum tentu dua bulan sekali pulang; padahal yang tinggal di nomor 111 itu cewek-cewek semua.
Sebenarnya tidak ada masalah apa pun dengan kondisi seperti itu; tetapi pikiran dan omongan usil mungkin saja hal itu dianggap sebagai “rahasia kampung.” Lalu secara bisik-bisik sering dijadikan bahan pergunjingan atau kelakar, terus diomong-omongkan kemana-mana. Itulah mbiyak wangkong.
Tidak Ada Rahasia
Pola hidup sosial kita yang sangat kuat ciri komunalnya, lagi-lagi kalau kurang kontrol, mendorong terjadinya kondisi pergaulan tanpa ada rahasia. Maksudnya, dalam masyarakat komunal, rahasia seseorang sangat mudah tersebar entah oleh siapa penyebarnya.
Pak Bagya sore ini ngobrol ngalor ngidul tentang “rumus mencari hari baik” dengan Pak Zaenal; besok pagi mungkin sudah mulai tersebar berita bahwa tidak berapa lama lagi akan ada manten di kampung kita. Siapa yang akan mantu? Jawabannya Pak Bagya. Siapa yang akan dinikahkan? Jawabannya: “Embuh ya anak sing endi?”
Hidup atau pergaulan tidak ada rahasia semacam itu menyuburkan kebiasaan mbiyak wangkong yang bisa sangat merepotkan dampaknya. Lagi-lagi “fenomena Bu Tejo” diiyakan oleh siapa pun karena memang realita sehari-hari tanpa pernah ada cek dan cek ulang.
Apa saja bisa diceriterakan oleh siapa saja dan kapan saja; malahan semakin beritanya itu kadar rahasianya tinggi, dorongan untuk mbiyak wangkong itu semakin menggoda.
Gerakan jaga tangga janganlah justru menyuburkan mbiyak wangkong, utamanya rahasia-rahasia yang terkait dengan perekonomian rumah tangga. Mengapa jangan? Inti dari gerakan jaga tangga adalah upaya bersama meningkatkan kepedulian dan solidaritas di masa sedang terjadi pandemi ini.
Baca Juga: Ketali Mangsa, Ya To Bu Tejo?
Secara fisik (terlihat dari luar) rumah seseorang nampak magrong-magrong, namun bila didalami kondisi senyatanya, ternyata keluarga itu sedang benar-benar terpuruk.
Atas nama kepedulian dan solidaritas, keluarga semacam itu perlu memperoleh manfaat atas gerakan jaga tangga, misalkan butuh bantuan bahan makan. Dan hendaknya tidak perlu ada yang mbiyak wangkong atasnya..
Warga masyarakat komunal memang harus banyak belajar dalam hal menghormati rahasia orang lain, dan juga belajar untuk tidak mudah dan tidak usah crita-crita tentang rahasia orang lain. Tepake awakmu dhewe, yang pasti tidak berkenan ketika ada orang lain menceriterakan dirimu, apalagi yang dicerityerakan itu rahasiamu.
(JC TukimanTarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)