MAGELANG (SUARABARU.ID)- Biasanya sungai posisinya lebih rendah dari jalan raya. Tetapi, bila masuk ke Kota Magelang dari arah Semarang, sesampainya di kawasan Menowo, Kelurahan Kedungsari, Kecamatan Magelang Utara ada pemandangan yang lain.
Aliran air sungai yang berasal dari Kali Manggis sepanjang 6,5 km tersebut melintas lebih tinggi dari jalan raya, di tengah Kota Magelang.
Sungai tersebut juga berada di ketinggian sekitar 3 meter dari badan jalan raya yang menghubungkan Semarang- Yogyakarta. Saluran irigasi yang ada sejak zaman Kolonial Belanda tersebut , hingga saat ini masih kokoh meskipun setiap hari dilalui aliran air menuju Kampung Jagoan di Kelurahan Jurangombo, Kecamatan Magelang Selatan.
Bagus Prijana, Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang mengatakan, aliran sungai kota (Boog Kotta Leiding), dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk mencukupi kebutuhan air bagi rumah-rumah yang ada di sekitar aliran tersebut.
“Selain dibangun untuk mencukupi kebutuhan air rumah, saluran tersebut juga digunakan untuk membersihkan limbah rumah tangga dari pemukiman warga,“ ungkapnya.
Fly River
Selain itu, aliran air yang melintas di saluran juga dikenal dengan sebutan fly river atau aqua duct tersebut, pada zaman dulu juga difungsikan untuk mengelontorkan limbah rumah tangga yang ada di bawahnya menuju Sungai Progo yang berada di sisi barat. Saluran yang berfungsi untuk mengelontorkan limbah rumah tangga tersebut keberadaannya hingga saat ini masih bisa dilihat. Yakni, saluran air yang mengalir dari Tanggul Kali Kota dan membelah Jalan Pahlawan melewati Kampung Botton, Kelurahan Magelang , Kecamatan Magelang Tengah dan Kampung Potrosaran , Kelurahan Potrobangsan.
Di Atas Jalan
Untuk menaikkan tekanan air dari tempat yang rendah dan tempat yang lebih tinggi di saluran air yang, sang arsitek menggunakan gaya gratifikasi air. Dengan menggunakan gaya gratifikasi air tersebut, air yang mengalir dari saluran Kali Manggis bisa melintas melewati di atas tiga bangunan Plengkung yang ada di Kota Magelang.
Ketiga bangunan plengkung tersebut rata rata memiliki tingi dan lebar sekitar tujuh meter. Yaitu Plengkung Baru yang ada di Jalan Ade Irma Suryani (Kawasan Badaan) yang dibuat pada tahun 1920, kemudian Plengkung Lama yang ada di Jalan Piere Tendean dan dibuat di tahun 1883, dan plengkung terakhir yakni yang ada Jalan Daha/Tengkon di Kampung Kemirikerep, Kelurahan Kemirirejo, Magelang Tengah (1893) dan di Jalan Ade Irma Suryani (1920).
“Plengkung yang pertama di bangun di Jalan Piere Tendean yang dikenal dengan plengkung lama dan terakhir ada di Kawasan Badaan di Jalan Ade Irma dan orang yang mengenal dengan plengkung baru,” ujar Bagus Prijana.
Ia menambahkan, bangunan plengkung tersebut juga berfungsi sebagai membuka akses jalan. Seperti plengkung yang ada di Jalan Piere Tendean dibangun untuk membuka akses jalan seiring dibangunnya kompleks militer di Niews Officer Kampement(Taman Badaan) dan Militair Kompement (tangsi militer) di Rindam IV Diponegoro.
Pada zaman perang kemerdekaan, Plengkung ini juga berfungsi sebagai banteng perjuangan para tentara dan rakyat Indonesia dalam memerangi musuh.
Selain sungai yang ada di atas jalan raya di tengah Kota Magelang, satu lagi bukti orang Belanda pandai mengelola bangunan terutama saluran air di atas jalan yakni saluran Kali Manggis yang ada di Kampung Poncol, Kelurahan Gelangan, Kecamatan Magelang Tengah.
Meskipun tidak sepanjang dengan aliran fly river yang mencapai 6,5 km, bangunan sungai di atas jalan di Kampung Poncol hingga Kampung Samban tersebut hanya mempunyai panjang sekitar 500 meter.
Bangunan sungai tersebut hanya memiliki ketinggian sekitar 1 meter dari permukaan jalan. Walaupun mempunyai ketinggian hanya 1 meter dari permukaan badan jalan, sungai tersebut tidak pernah meluap meskipun airnya mengalir deras.
Yon