blank

blankOleh Amir Machmud NS

//… diakah kesatria rembulan, yang datang dengan elegan?// atau pendekar matahari, yang seperkasa itu tiba// atau sang penjaga bumi, yang gagah nian mengatur titah// tiga pengawal kerajaan sepak bola berhak atas tahta// siapa menghuni habitat seperti apa// siapa paling genius dan berkarisma…// (Sajak “Tiga Genius”, 2020)

SIMAKLAH fakta unik ini: hanya satu di antara tiga pelatih paling top saat ini yang mampu meloloskan timnya ke perempatfinal Liga Champions 2019-2020. Kemenangan 2-1 Manchester City atas Real Madrid di Etihad, dua hari lalu mempertegas keunggulan dengan skor sama di Santiago Bernabeu pada leg pertama.

Apakah itu berarti Pep Guardiola memenangi perang opini kejeniusan atas Zinedine Zidane sekaligus Juergen Klopp yang telah terlebih dahulu gagal menjaga laju Liverpool?

Fakta teraktual itu membumbui fokus referensi pencapaian ketiga pelatih dalam sejumlah musim, yang tak jarang terformulasi lewat pertanyaan: siapa yang paling genius di antara tiga genius itu?

Juergen Norbert Klopp. Diakah kini raja diraja paling berkuasa, yang pantas disujudi para pengikut setia dari ujung ke ujung dunia?

Pep Guardiola i Sala. Atau diakah sang maharaja, dengan kecerdasan di luar jangkau lazim akal manusia?

Zinedine Yazid Zidane. Atau dia pula, yang dari sejak mengabdi sebagai penggawa telah unjuk kesaktian langka, berlanjut ke singgasana sebagai kaisar bijak nan berkarisma?

Menobatkan salah satu di antara tiga kesatria itu sebagai genius utama dengan akal dewa, yang menguasai mayapada sepak bola pada saat ini, tentu bukan perkara mudah. Lebih gampang menyetarakan mereka sebagai triumvirath penakluk dunia.

Bukankah mereka adalah penguasa opini dunia, pengoleksi trofi-trofi puncak penanda, dan penghayat filosofi yang menghidupi sepak bola, untuk menjadikan permainan ini bukan sekadar wilayah hampa?

Para maha-empu, katakanlah begitu tiap kali dengan nada bergetar kita menyebut langsung atau tidak langsung nama Pep, Klopp, dan Zidane. Tentu level “maha” itu berkonteks masa sekarang, karena pada era yang berbeda predikat maha-empu juga melekat dalam diri Jose “The Special One” Mourinho, Jupp Heynckes, Sir Alex Ferguson yang tiada tara, termasuk Rinus Michels, Helmut Schoen, dan sang ideolog Luis Cesar Menotti.

Saya memberi maqam “maha-empu”, karena logikanya kini bermunculan empu muda: Dari Frank Lampard, Ole Gunnar Solskjaer, Gennaro Gattuso, dan yang baru saja menoreh sejarah Piala FA bersama Arsenal: Mikel Arteta. Tentu masih banyak mereka yang tengah berjuang meraih levelnya.

Pernyataan pelatih tim nasional Aljazair, Djamel Belmadi, cukup mengusik dari pemahaman persepsi mediatika. Dalam wawancaranya dengan L’Equipe belum lama ini, secara tidak langsung dia mengingatkan, betapa media terlampau fokus kepada Pep, Jose Mourinho, dan Klopp dengan memberi label genius. Padahal baru saja sesosok “intelektual hebat” memberi bukti kelengkapan kehadirannya dalam buku sejarah sepak bola.

Zinedine Zidane, sosok itu, adalah pelatih yang baru saja mempersembahkan gelar La Liga kedua untuk Real Madrid setelah 2017, melengkapi kemonceran catatan hattrick trofi Liga Champions (2016, 2017, 2018) yang belum seorang pelatih pun membukukannya. Maka sangat pantas L’Equipe menobatkannya sebagai Pelatih Terbaik Dunia tahun ini, melewati Klopp dan Pep.

Pep sudah dua kali menyuntingnya, termasuk memberi treble untuk Barcelona (2009), dan dalam rentang empat tahun memimpin Blaugrana mengantar 14 piala. Klopp juga lengkap meraih Liga Champions, Piala Super Eropa, Piala Dunia Antarklub, dan Liga Primer di luar raihan lima gelar ketika mengarsiteki Borussia Dortmund.

Yang membedakan dari maha-empu lainnya, Pep dan Klopp dinilai mengusung konsistensi filosofi bermain. Pep dengan tiki-taka berbasis possession football yang sukses dilekatkan dalam ruh permainan Barca, lalu menjadi revolusi di Bayern Muenchen dan Manchester City. Sedangkan Klopp membawa gegenpressing sebagai karakter Liverpool, dan sebelumnya menjadi urat taktik Borussia Dortmund.

Sementara itu, Mourinho yang sukses di FC Porto, Chelsea, Internazionale Milan, Real Madrid, dan Manchester United lebih dikenal dengan pragmatisme pemenangan. Sikap kepelatihan itu memberinya puncak prestasi berupa treble untuk Porto pada 2004, dan Inter pada 2010.

*   *   *

LALU apa dan bagaimana dengan sepak bola Zidane? Benarkah dia seorang pragmatis, yang digambarkan Djamel Belmadi sebagai genius walaupun tidak merevolusi permainan?

Bagi Djamel, produk kemenangan sejatinya lebih penting ketimbang filosofi. Dia mencoba memahami harapan fans yang (pasti) selalu menghendaki kemenangan. Kalau (hanya) berbicara tentang filosofi, berapa pelatih yang belum pernah memenangi apa pun?

Untuk ini, Zidane memberi jalan tengah. David Beckham, rekannya sesama Galacticos pada era super Real Madrid, menilai Zizou sebagai orang yang penuh gairah dan berkemauan kuat. Sedangkan para pemainnya seperti Marcello dan Luka Modric merasakan sang pelatih selalu menyusun rencana taktik dengan rapi, menekankan penguasaan bola selama mungkin dan bermain saling berdekatan untuk mengamankan bola.

“Sepak bola saya adalah sepak bola indah dan seimbang,” kata Zidane pada awal karier kepelatihannya.

Doktrin itu diwujudkan dalam ekspresi sepak bola gembira, umpan-umpan pendek yang cermat merambat dari lini belakang ke depan. Kata “seimbang” beraksen memberi perhatian culup pada pertahanan, kalau perlu bersikap pragmatis untuk meraih kemenangan.

“Tim saya harus menguasai bola selama mungkin, bahkan ketika melawan Barcelona (yang berfilosofi seperti itu),” tutur Zidane.

Prinsip keseimbangan juga bisa diterjemahkan dalam semangat kolegialitas. Madrid tidak terpengaruh oleh kepergian Cristiano Ronaldo. Zidane juga berani menepikan Gareth Bale dan James Rodrigues yang berstatus bintang. Di tengah pilihan sikap itu dia mampu mengangkat level permainan Karim Benzema yang dalam beberapa musim kurang konsisten. Vincius Junior pun kini tumbuh jadi sosok andalan.

Dari pemahaman ini, tentu keliru memaknai kepelatihan Zidane tanpa jiwa filosofi tertentu. Dia memang bukan orang yang biasa ber-blablabla untuk meramaikan media. Media juga tidak pernah memformulasikan istilah khusus untuk kejeniusan Sang Ballerina. Dengan bukti di lemari trofi Madrid, untuk sementara kita pantas melabeli permainannya sebagai “sepak bola Zidane”.

Pep merumuskan kepintaran Zidane dengan kalimat ini, “Sulit untuk mengetahui taktik Zidane. Ketika Anda merasa tahu, dia akan muncul dengan sesuatu yang berbeda,” ungkapnya seperti dikutip BBC.

Bahwa dia adalah salah satu genius dalam deret sejarah sepak bola, nyatalah ini merupakan “utang” media dan para analis. Sejauh ini terkesankan Zizou seolah-olah belum diposisikan di habitat mereka yang mengusung ideologi atau revolusi bermain tertentu. Padahal sejatinya Zinedine Zidane justru telah melewati garis itu.

Jaddi dengan mengabaikan langkah Madrid di Liga Champions kali ini, diakah itu kesatria rembulan, pendekar matahari, sekaligus sang penjaga bumi?

Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng