blank
Tangkapan layar penyajian materi perbincangan bertema "Borobudur dan Seni Rupa" diselenggarakan Balai Konservasi Borobudur secara daring di Magelang, Kamis (6/8/2020). Foto: Antara.

MAGELANG (SUARABARU.ID) – Menurut pengamat seni dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, cara memandang Candi Borobudur yang tidak sekadar secara ragawi, membawa setiap orang menjadi lebih empati, produktif dan kreatif.

“Melihat Borobudur akan lebih produktif, kalau kita memandang sebagai subjek, bukan sekadar objek, di mana kita bisa masuk ke dalamnya lalu kita bisa merasakan spirit. Ini cara pandang yang lebih berempati, produktif dan kreatif,” katanya dalam acara perbicangan secara daring diselenggarakan Balai Konservasi Borobudur di Magelang, Kamis (6/8/2020).

Menurut Maryanto, cara memandang Borobudur sebagai objek atau aspek fisik yang berupa bangunan candi dan subjek, sebagai sumber ide, inspirasi, dan pengetahuan akan berbeda.

“Sebenarnya, dalam memandang karya seni, kita bisa memperlakukan, melihat, memandang karya itu (Borobudur-red) sebagai subjek, bukan aspek ragawi. Tetapi justru yang penting sebagai subjek, karya seni adalah sumber ide, karya seni adalah sumber inspirasi, sumber pengetahuan. Seni ini kita ganti dengan Borobudur,” jelas dosen Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta itu.

BACA JUGA: Usaha Pariwisata Harus Menerapkan Pola Protokol Baru

Jika orang memandang sebagai objek, Borobudur hanya tampil sebagai acagar budaya. berbeda halnya jika memandang Borobudur sebagai subjek, termasuk seorang seniman akan dibawa masuk kepada berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan, spiritualitas, kultural, dan religiusitas.

“Salah satu pelukis muda di kawasan Candi Borobudur, Wawan Geni melihat candi itu sebagai subjek, bukan sekadar melihat bentuk Borobudur, tetapi belajar dan menjadikannya “rumah” serta tempat mendapatkan ide dan kehidupan,” terangnya.

Pengkaji BKB Hari Setyawan mengemukakan, Candi Borobudur sebagai puncak karya seni klasik Indonesia (zaman Hindu-Buddha) sekitar abad 8-10 Masehi. Seni rupa dan pahat Indonesia, berkembang dengan puncaknya Candi Borobudur, antara lain berupa pahatan yang proporsional dan penggambaran komponen-komponen lingkungan secara detail.

“(Relief-red) pohon sampai buah, daun, sampai para peneliti LIPI geleng-geleng kepala karena bisa menganalisis sampai spesies. Hewan juga bisa diidentifikasikan sampai tingkat spesies. Itu salah satu hal yang menjadi kemajuan kita,” unkapnya.

Ia mengungkapkan bahwa bentuk kemajuan bangsa yang menghargai, mengembangkan karya seni sehingga mampu memanifestasikan dalam objek-objek penting bagi peradaban, seperti Borobudur yang tidak hanya dimaknai sebagai bangunan semata.

Ant/Naf