Oleh Widiyartono R
SETIAP kali berkesempatan pulang ke Wonosobo, beribu kenangan masa lalu pun muncul. Kota yang tidak sedingin dulu lagi ini, tetap saja memberikan rasa sejuk di sanubari. Wonosobo tahun 60-an akhir sampai awal 80-an adalah kenangan masa lalu yang tak pernah bisa terbeli.
Ini tulisan serial keempat saya di SUARABARU.ID tentang kenangan masa lalu Wonosobo. Masih sangat banyak hal yang bisa kuungkap terkait dengan kenangan masa kecil dulu. Satu di antaranya, yang akan kuurai kali ini adalah Taman Kartini.
Sebuah kawasan yang tidak terlalu luas, di selatan Alun-alun Wonosobo. Kini tempat itu itu menjadi Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah. Dulu, setidaknya yang sempat kualami pada masa akhir 60-an sampai 70-an, namanya masih Taman Kartini, dan merupakan tempat rekreasi yang menyenangkan.
Taman Kartini juga merupakan kebun binatang mini. Meskipun mini cukup membanggakan bagi warga kota waktu itu. Dan, tentunya menjadi tempat bermain yang menyenangkan bagi anak-anak. Meski tidak lengkap, tetapi cukup banyak binatang yang ada di sana.
Loket untuk membeli tiket masuk ada di sisi utara, menghadap ke arah alun-alun. Di tempat penjualan tiket, ada lubang kecil untuk tangan menyerahkan uang dan menerima sobekan tiket. Lalu, di atas lubang kecil itu ada anyaman kawat yang bisa kita gunakan untuk melihat petugas. Dari situlah kita berkomunikasi, misalnya mau beli berapa tiket. Ya, klasik banget.
Beda dengan zaman sekarang, loket biasanya tertutup kaca dan ada lubang kecilnya untuk menyerahkan uang dan untuk berkomunikasi. Tetapi kita bisa melihat orang-orang yang bertugas dan apa saja yang ada di ruangan itu.
Taman Kartini menjadi aman mengesankan untuk dikenang, karena Mbah Kakung (kakek) selalu mengajakku jalan-jalan ke sana. Setelah Mbah Kakung membeli tiket, kami pun masuk. Langsung belok kanan, kita akan temukan kandang monyet atau kera berekor panjang (Macaca fascicularis). Tingkah lucu monyet-monyet ini sangat menyenangkan bagi anak-anak. Apalagi Mbah Kakung sudah membekali sebungkus kacang untuk dilemparkan pada primata itu.
Patung Gajah Mungil
Di tengah Taman Kartini ada sebuah kolam cukup besar. Bukan kolamnya yang menarik bagiku. Tetapi di tepi kolam, di depan kandang monyet itu ada patung gajah. Patungnya tidak besar, bahkan boleh dibilang mungil. Tingginya tidak sampai 50 cm, tetapi untuk anak-anak pas. Sebelum meneruskan jalan-jalan keliling Taman Kartini, Mbah Kakung selalu menunjuk patung gajah mungil itu. Lalu, aku duduk di atasnya, seperti naik gajah. Padahal cuma sebesar dhingklik saja.
Entah kenapa, patung gajah mungil itu tak pernah bisa terlepaskan dari kenangan. Setidaknya ketika tebersit kenangan bersama Mbah Kakung, pasti kuingat patung gajah mungil itu. Duduk di atas patung gajah sambil memandangi ikan mas (orang Wonosobo menyebutnya “iwak bandung”) yang aneka warna sedang berenang.
Biasanya cukup lama aku menikmati “naik gajah” itu, bisa sampai seperempat jam. Baru kemudian Mbah Kakung menuntun melanjutkan “petualangan kecil” itu. Tampak beberapa lutung Trachypithecus auratus, sejenis monyet berbulu hitam, berloncatan di kandang. Kembali, kacang yang kubawa kulempar ke kandang. Bahagia sekali melihat lutung-lutung itu berebut kacang.
Harimau dan Buaya
Berbahagia sekali anak-anak Wonosobo kala itu, karena sudah berkesempatan melihat macan atau harimau. Ya, karena mengalami masa kecil di Wonosobo yang punya kebun binatang mini. Anak-anak tak perlu ke Gembiraloka di Jogja atau Tegalwareng di Semarang untuk melihat harimau.
Kandang macan (Panthera tigris) itu ada di pojok selatan barat. Hanya satu ekor, dan kalau mengaum, benar-benar membuat ketakutan. Berhadapan dengan kandang macan tetapi agak jauh, ada kandang tinggi besar berpagar kawat. Di dalamnya ada sepasang burung merak.
Merak jantan memang flamboyan, dengan genitnya melebarkan bulu ekor sehingga tampak begitu anggun dan eloknya. Padahal sebenarnya dia sedang caper atau cari perhatian pada pasangannya. Karena keanggunan burung merak inilah, kemudian sastrawan besar Rendra disebut Burung Merak.
Ceritanya, waktu itu Rendra sedang berada di Gembiraloka bersama temannya. Tiba-tiba merak jantan di dekatnya menari memamerkan keindahan bulu-bulunya. Rendra pun berteriak, “Itu Rendra… itu Rendra…” Sejak saat itulah Rendra yang memang flamboyan mendapat sebutan si Burung Merak.
Di belakang kandang burung merak itu, ada sebuah bak berukuran cukup besar dan dalam. Di dalam baik dengan air yang sedikit itu terdapat dua ekor buaya. Pengunjung bisa melihat kedua buaya itu di bibir bak yang menjadi kandangnya. Memang tidak terlalu luas bagi reptil pemangsa ini untuk tinggal di bak tersebut. Maka, kita tidak akan bisa melihat bagaimana anggunnya buaya berenang. Yang sering disaksikan adalah ketika buaya itu mengangakan mulutnya. Sebanr-benar sebuah emandangan yng mengerikan. Bisa dibayangkan bila tangan kita masuk di mulut buaya itu, pasti langsung hancur karena giginya yang runcing dan banyak.
Di sebelah kandang buaya, masih berbentuk bak juga ada burung kasuari. Kasuari adalah burung galak, sehingga kandangnya dibuat seperti itu agar tidak menyerang pengunjung. Hewan-hewan lainya sudah banyak yang kulupa.
Pasar Malam dan Wayang Orang
Taman Kartini juga sering digunakan untuk kegiatan pasar malam, sebuah hiburan yang sangat menyenangkan bagi anak-anak. Karena di pasar malam pasti banyak permainan. Ada ombak banyu, jinantra, dan permainan lainnya. Yang menarik, untuk jinantra atau semacam “bianglala” di di Dufan Ancol.
Kalau di dufan, penggeraknya memang mesin yang dibuat untuk itu. Berbeda dengan yang di Taman Kartini. Penggeraknya menggunakan mesin truk yang dimodifikasi untuk memutar besi bundar penuh dengan kursi-kursi itu. Operator memang seperti sopir truk, ada pedal gas, kopling, rem, dan tangkai persneling. Lucu pokoknya.
Masa jinantra ini aku sudah agak besar, dan Mbah Kakung sudah meninggal. Sehingga sudah bisa bermain sendiri bersama teman-teman. Selain naik jinantra atau ombak banyu, juga ada permainan seperti judi. Misalnya memancing atau lempar bola. Kita gunakan pancing untuk mengait barang-barang terbungkus yang disediakan. Kita tak pernah tahu apa isinya, yang penting dapat. Kadang tempat sabun, handuk, bahkan rokok, atau yang lain.
Makin lama Taman Kartini makin merana. Binatangnya makin berkurang. Yang paling kuat bertahan seingatku ya buaya. Bahkan semasa aku SMA, buaya itu masih hidup. Seiring dengan perkembangan, hewan-hewan yang makin berkurang, Taman Kartini makin sepi. Hingga suatu ketika datanglah kelompok wayang orang Indrajaya.
Ini hiburan yang sangat menarik waktu itu. Trik-trik permainannya sudah cukup maju. Misalnya ketika lakon Anoman Obong, juga seakan-akan Anoman terbakar, dengan adanya api yang menyala-nyala. Selain lakon wayang, juga sesekali lakon ketoprak dimainkan. Wayang Orang Indrajaya benar-benar menjadi tontonan penting waktu itu. Kursinya selalu penuh, dan penonton pulang dengan wajah puas.
Cukup lama Indrajaya membangun tobong di Taman Kartini, kemudian pindah ke kota lain. Beberapa bulan kemudian kembali, dengan suasana yang memprihatinkan. Mungkin di kota lain tak sesukses di Wonosobo. Kursi penonton makin berkurang, mungkin dijual untuk menutup kerugian. Kursi-kursi besi itu hanya di pasang di bagian depan, sedang bagian belakang diganti bambu-bambu yag dibuat serupa bangku. Menyedihkan…. Dan, tidak sampai lama, kukutlah, Indrajaya menggulung layar….
Taman Kartini makin berubah, kemudian dibangunkan gedung Sasana Bhakti. Penyanyi Ade Manuhutu pernah manggung di gedung itu. Tetapi aku tak bisa menontonnya, karena tak mampu beli tiketnya. Hanya mendengarkan suaranya di depan penjara, di samping Taman Kartini.
Tahun 80-an, pernah ada reuni SMA1 Wonosobo di sana. Kepala Sekolah Pak Sembada Idris waktu itu berharap ada keluarga alumni yang dinamai IKASMAN-Ikatan Keluarga Alumni SMA Negeri. Tetapi tampaknya tidak terealisasi sampai kini.
Dan Taman Kartini terus bertransformasi, dari Sasana Bhakti menjadi kantor Dinas Pariwisata, kemudian terakhir kini Kantor Arsip dan Perpusda. Memang tak ada yang abadi di dunia ini, tetapi kenangan indah selalu terpateri di dalam hati. Di antaranya, Taman Kartini…. ***
Widiyartono R, wartawan kelahiran Wonosobo, pemerhati masalah kebudayaan dan pariwisata.