blank

blank

Judul Buku: Estetika Jurnalistik
Penulis : Amir Machmud NS
Penerbit : Mimbar Media Utama
Tahun Terbit : 2019 (Pertama)
Tebal Buku : xvi + 160 halaman (15 x 20 cm)

JIKA pekerjaan jurnalistik boleh memperoleh pengibaratan seperti shalat (fardu atau sunah), akan tampak jelas kolaborasi antara etika dan estetika dalam memandu perjalanan “spiritualitas” bermedia. “Tarekat jurnalistik” yang diawali dengan penguasaan “fikih jurnalistik” hingga tiba di puncak “tasawuf jurnalistik”. Inilah yang mengemuka sebagai bahasan dominan dalam buku ini.

Etika sesungguhnya merupakan prosesi taharah (wudu) plus nawaitu alias niat yang menuntun jurnalis saat menegakkan “shalat jurnalitik”-nya. Amir Machmud NS menekankan, etika menjadi roh yang ditiupkan oleh “kebenaran” dan menjadi pertimbangan dalam memilih dan memutuskan manakala seorang wartawan mengikuti rangkaian proses berjurnalistik dan bermedia.

Etika itu sesungguhnya, sebagaimana dia kutip dari pakar ilmu komunikasi Universitas Diponegoro Turnomo Rahardjo, juga merupakan suara hati jurnalis dalam membedakan yang benar dan salah, membedakan yang bertanggung jawab atau tidak bertanggung jawab. Sebab, realitas konstruksi media menjadi rujukan publik memahami suatu peristiwa. Jika jurnalis berkiblat pada tafsir “Al-Mukarom Syekh” Machiaveli dalam berproses, sesungguhnya tahapan taharah dan nawaitu etikanya telah menindas kebenaran (halaman 116).

Selanjutnya, dalam “tarekat jurnalistik” itu, sikap pandangan dan tindakan jurnalis pun menentukan kualitas peribadatannya bermedia. Bila dia menulis hanya permukaan (hard news), maka yang bersangkutan sekadar melakukan “pelunasan syariat” jurnalistik. Satu tingkat lebih tinggi dari itu, menemukan penanda pada kemampuan wartawan membaca substansi atau “hakikat”.

Kemudian yang tertinggi, tulis Amir yang pernah mengikuti Journalist Exchange Programme di Harian Courier Mail Brisbane, Queensland, Australia pada 1999 (halaman 130), kalau wartawan mampu mencapai level “makrifat”, dia akan menulis dengan passion dan pendalaman yang berpilar pada keindahan. Dengan kata lain, persoalan kredibilitas manusia wartawan, pastilah terkait dengan etika yang akan melahirkan karya-karya yang estetis (halaman 143).

Bagi Pemimpin Redaksi Harian Suara Merdeka (2011-2015) ini, salah satu indikator produk jurnalistik yang memenuhi estetika adalah manakala jurnalis mampu meramu peristiwa “dengan elemen-elemen susastra, kekuatan referensi, dan keluasan pengetahuan yang tersaji secara novelik dan filmis. Hidup, bertenaga, bervisi, dan mampu memindahkan objek ke dalam teks layaknya karya fotografi yang berbicara penuh makna” (halaman 8).

Internalisasi Sikap

Paling tidak yang seharusnya masih tersisa hingga dewasa ini, ulas dosen luar biasa Hukum Media, Riset Media Khalayak, dan Bahasa Jurnalistik di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Universitas Islam Sultan Agung, dan Universitas Semarang itu, estetika jurnalistik mewujud sebagai internalisasi sikap sang jurnalis.

Suatu internalisasi sikap untuk menggulirkan pada pilihan: tidak merasa cukup hanya dengan menulis benar. “Ketercukupan syarat matra etis informasi berupa akuntabilitas, disiplin, verifikasi, dan kepercayaan publik akan menjadi lebih indah  apabila dilengkapi dengan keelokan narasi sebagai magnetnya,” tulisnya. (halaman 17).

Pada bagian lain dari buku ini, Amir yang sejak 2019 memimpin portal berita SUARABARU.ID itu menekankan, estetika jurnalistik merupakan formulasi keyakinan soal posisi “bentuk sajian” yang telah melampaui standar-standar berjurnalistik. Dalam artian, kemampuan “mengaji” mekanisme teknis sudah khatam.

Pun terkait proses-proses etis telah terlewati sudah. Dengan demikian, etika segera berperanan menjadi penyangga dan penjaga karya jurnalistik. Dari etika, selanjutnya sebuah karya bergerak ke arah estetika. Dan, estetika itulah yang menghadirkan eksotika (halaman 21). Eksotis, menurut kamus bahasa, berarti memiliki daya tarik yang khas.

Sementara itu, terkait dengan habitat disiplin di bidang hukum, penulis 14 buku ini berpendapat, tontonan media tentang sengketa hukum, seharusnya mendorong jurnalis menafsirkan keberimbangan lebih pada eksplorasi hati nurani. Tak perlu secara naif mengetengahkan fakta, ada orang digdaya yang berada di seberang orang daif secara hukum. Dari keseimbangan ini dapat diharapkan kehadiran produk jurnalistik yang estetis (halaman 106).

Buku ini, menurut Iwan Awaluddin Yusuf dalam bagian prolog, berupaya mengingatkan para pekerja media, betapa di tengah pusaran arus deras kebebasan dan perubahan, media tidak dapat mengabaikan untuk memberikan informasi yang benar, lengkap, dan sekaligus tetap tersaji dengan indah. Bagi dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan kandidat doktor Media dan Jurnalisme di Monash University, Australia itu, pada sisi inilah letak urgensi etika dan estetika jurnalistik dewasa ini.

Kegembiraan Jurnalistik

Masih pertalian dengan etika dan estetika, buku ini mengupas dengan gaya bahasa yang memikat tentang magi budaya pop dalam industri kapitalisme sepak bola. Ada pula sorotan terhadap kegembiraan jurnalistik yang terepresentasikan lewat langkah progresif gaya reportase jurnalisme audovisual Valentino Simajuntak yang menemukan kebaruan sajian berkelas out ot the box.

Demikian pula dengan lagu “Wartawan Ratu Dunia” karya Buchari Masruri yang dibawakan Grup Kasidah Nasyida Ria Semarang dan pernah populer pada 1980 dan belakangan kembali diunggah serta viral di media sosial, tidak luput dari sorotan Amir Machmud. Menjadi “ratu” adalah berkah dari idealisme etis kewartawanan. Sementara itu, menjadi “racun” merupakan konsekuensi berjurnalistik dan bermedia yang instan, serbabergegas, dan abai terhadap penghayatan nilai-nilai etis.

Pengalaman berpuluh tahun pria yang mengawali karier jurnalisnya pada 1983 ini, layak menjadikan dirinya sebagai mursyid tarekat “etika dan estetika jurnalistik”. Buku ini adalah salah satu bukti nyata.

Fauzan Haidar-trs

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini