blank
Ilustrasi (Foto: https://mommiesdaily.com/)

Oleh Trimanah

 blankWABAH corona telah membawa sejarah baru bagi hampir semua orang yang hidup di planet bumi saat ini. Untuk mencegah dan memutus rantai penyebaran virus, semua orang diminta, bahkan ada yang dipaksa oleh aturan Negara untuk membatasi aktivitas di luar rumah. Di beberapa negara Eropa malah ada yang mengharuskan warganya betul-betul berdiam diri di rumah. Bagi yang akan keluar rumah harus lapor kepada pihak yang berwenang.

Di Indonesia pun sama. Meski terlambat menyikapi merebaknya wabah covid-19 ini, pada akhirnya pemerintah menghimbau masyarakat untuk berdiam diri di rumah, meliburkan sekolah dan kampus, kantor, toko, mal. Ibadah pun dilakukan di rumah. Tempat-tempat ibadah seperti masjid, gereja, pura, kelenteng, wihara, semuanya membatasi kegiatannya. Masjid pun kemungkinan besar tidak akan menyelenggarakan shalat tarawih dan shalat idul fitri pada saat Ramadan dan Lebaran nanti.

Situasi ini membawa dampak tersendiri untuk ibu-ibu atau emak-emak, baik yang bekerja atau pun  yang tidak bekerja. Terutama untuk ibu-ibu yang masih memiliki anak usia sekolah. Bila sebelumnya rumah akan sepi sejak jam 6 pagi dan baru akan kembali ramai bila anak-anak pulang sekolah dan suami pulang bekerja. Sekarang rumah ramai sepanjang hari. Anak-anak semuanya belajar daring di rumah. Suami juga demikian. Malah tak sedikit suami yang sekarang jadi pengangguran di rumah karena pemutusan hubungan kerja, atau tak bisa lagi mencari nafkah di sektor non formal di luar rumah.

Bisa dibayangkan bila ada ibu yang bekerja atau berkarier, yang di rumahnya ada lebih dari satu anak, apalagi yang usia sekolah, maka ibu ini harus siap menjadi guru dan pendamping belajar yang baik meski belum tentu memiliki latar belakang pendidikan keguruan, dan tetap menjadi pegawai yang baik bagi kantor tempatnya bekerja. Para ibu harus ikut belajar bersama anaknya di hampir semua mata pelajaran. Harus membuat report berkala kepada pihak sekolah, sambil tetap menyelesaikan tugas-tugas dari kantor. Pada saat yang sama, ibu juga harus memastikan bahwa semua anggota keluarga terjamin kesehatannya, tercukupi gizinya.

Di sela-sela menjadi guru yang baik bagi anaknya, ibu juga harus menjadi koki yang handal, menyiapkan makanan tiga kali sehari untuk semua anggota keluarga. Tugas menjadi koki akan lebih ringan ketika keluarga memiliki uang yang cukup untuk membeli bahan makanan. Keadaan akan lebih sulit bagi ibu-ibu yang tidak memiliki sumber penghasilan tetap yang bisa menjamin ketersediaan pangan di rumahnya. Belum lagi tugas-tugas domestic lain yang harus diselesaikan. Menyapu, mengepel, mencuci, menyetrika, dan lain-lain.

Beruntung sekali bila ibu-ibu memiliki suami yang mengerti situasi. Mau membantu meringankan tugas istrinya yang seperti tanpa henti itu. Tapi sepertinya tidak banyak yang memiliki keberuntungan itu. Sebab kita tahu, masyarakat Indonesia umumnya masih menganut budaya patriarki, yaitu suami lebih dominan menguasai istri. Masih banyak suami yang gengsi mengerjakan tugas-tugas rumah tangga karena beranggapan bahwa tugas di rumah adalah tugas istri, bukan suami.

Situasi-situasi seperti itu pasti akan mempengaruhi fisik dan psikologis para ibu atau istri. Secara fisik, ibu akan lelah. Tenaga, waktu dan pikirannya betul-betul terkuras. Secara psikologis situasi diatas bisa menimbulkan stress.

Stres adalah situasi ketegangan atau tekanan emosional yang dialami seseorang yang sedang menghadapi tuntutan yang sangat besar, hambatan-hambatan, dan adanya kesempatanyang sangat penting yang dapat mempengaruhi emosi, pikiran dan kondisi fisik seseorang. Bila ibu lelah fisik dan stress, bisa dibayangkan bagaimana ibu akan berkomunikasi dengan seluruh anggota keluarga? Dari berbagai sumber bacaan menyebutkan bahwa keadaan yang dialami individu saat mengalami stres tidak jarang mengganggu pola relasinya dengan orang lain dan lingkungan.

Relasi atau hubungan antara ibu dengan anak-anak dan suaminya adalah hubungan simbiotik yang harusnya saling menguntungkan. Tetapi pada situasi dimana ibu mengalami stress maka hubungan simbiotik bisa  sulit terbangun. Ketika ibu stres tidak menutup kemungkinan ibu akan berkomunikasi dengan anak-anak maupun suami dengan cara yang tidak baik. Pemilihan kata tidak tepat, intonasi suara menjadi tinggi, ekspresi muka tidak menyenangkan.  Bila sudah demikian, respon atau umpan balik dari anak-anak dan suami juga tidak akan jauh berbeda. Keadaan yang seperti itu pada akhirnya akan  menciptakan atmosfir komunikasi yang tidak menguntungkan bagi semua pihak, baik ibu, anak dan suami. Rumah menjadi panas karena sering terjadi perdebatan. Atau rumah akan menjadi dingin karena masing-masing anggota keluarga saling mendiamkan.

Ibu adalah kunci keharmonisan hubungan antaranggota keluarga. Untuk itu meski dihadapkan pada begitu banyak keadaan yang menekan, ibu harus bisa mengatasi stresnya dengan berbagai cara, sehingga  tidak mempengaruhi komunikasinya dengan anak-anak dan suami.  Ada beberapa cara untuk mengatasi stres di saat  berdiam diri di rumah selama masa pandemik.

Menyalurkan hobi adalah salah satu cara ampuh mengatasi stres. Yang hobi memasak bisa mengalihkan sejenak tekanan dalam fikirannya  dengan membuat olahan makanan yang enak. Yang hobi berkebun, bisa menyempatkan waktu menikmati ketenangan bersama tanah dan tanaman. Yang hobi menonton, bisa melupakan sejenak segala kerempongan tugas dan duduk manis atau tidur-tiduran menikmati film kesukaan. Yang hobi mendengarkan music, bisa menancapkan headset di telinga dan menikmati lagu-lagu favorit sambil menyelesaikan tugas-tugas.

Selain menyalurkan hobi, ibu-ibu juga perlu mengurangi tuntutan pada diri sendiri dan tidak memaksakan diri agar semua serba perfect sesuai dengan yang diinginkan. Dalam situasi seperti ini dimana hampir semua anggota keluarga ada di rumah sepanjang hari, maka jangan teralu menuntut bahwa rumah harus bersih dan rapih jali, anak-anak harus menjadi anak manis yang selalu menurut. Kerjakan saja apa yang sanggup dikerjakan, bukan yang harus dikerjakan. Mengurangi tuntutan kepada diri sendiri menjadi sesuatu yang sanggup dikerjakan daripada sesuatu yang harus dikerjakan akan menjadi cara mengatasi stres pada ibu.

Dan, sering-seringlah menarik nafas dalam-dalam bila stress mulai datang. Akan lebih baik lagi bila menarik nafas sambil berdoa atau beristighfar. Jangan lupa, beribadah adalah cara terbaik mengurangi stress. Bagi umat Islam, waktu shalat yang lima waktu, dan waktu-waktu shalat sunnah adalah waktu-waktu terbaik untuk menenangkan pikiran. Semoga ibu-ibu semua kuat menghadapi masa-masa berdiam diri di rumah. Semoga wabah segera berlalu, dan ibu-ibu bisa kembali menjalani kehidupan yang “normal” sebagaimana sebelumnya. ***

Trimanah, M.Si, Dosen Ilmu Komunikasi UNISSULA Semarang, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi USAHID Jakarta