Oleh: Trimanah, M.Si
INDONESIA bersama dengan 147 kepala negara anggota PBB menandatangani deklarasi Millennium Development Goals (MDGs) pada Konferensi Tingkat Tinggi Milenium di New York pada September 2000.
Ada delapan butir yang disepakati untuk dicapai Negara-negara PBB agar pada tahun 2015 negara-negara tersebut mengalami peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Di antara delapan butir tersebut, salah satunya adalah memastikan pelestarian lingkungan hidup (ensure environmental sustainability).
Pemerintah melalui Bappenas merencanakan tiga subtarget untuk mencapai target ini, yaitu (1) memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang hilang; (2) Penurunan sebesar separuh, proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar; dan (3) Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh.
Untuk memastikan subtarget kedua, yaitu sector air minum dan sanitasi dapat tercapai maka pemerintah dengan dukungan Bank Dunia membuat program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) untuk wilayah perdesaan dan pinggiran kota.
Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan jumlah fasilitas pada warga masyarakat kurang terlayani termasuk masyarakat berpendapatan rendah di wilayah pedesaan dan pinggiran kota. Program PAMSIMAS ini dilaksanakan melalui beberapa periode yang akan berakhir pada tahun 2020 ini.
Hingga tahun 2015 sudah lebih dari 12.000 desa/kelurahan yang tersebar di 233 kabupaten/kota di 32 propinsi di Indonesia terlayani PAMSIMAS, dan hingga 2020 akan menyasar 15.000 desa sasaran baru. Desa-desa yang sebelumnya sulit mengakses air bersih kini sudah memiliki sumber air yang layak konsumsi.
Sumber air PAMSIMAS berasal dari air sedalam belasan hingga puluhan meter di bawah permukaan tanah, yang di bor dan ditampung dalam penampungan besar untuk kemudian didistribusikan ke rumah-rumah penduduk.
Ini memang cara paling cepat dan murah untuk mendapatkan air bersih. Tetapi cara ini ternyata menimbulkan dampak lingkungan yang cukup parah. Dampak ini berbanding terbalik dengan tujuan awal dari pembuatan program ini yaitu memastikan pelestarian lingkungan hisup sebagaimana yang diamanatkan oleh MDGs.
Akibat yang paling jelas bisa dilihat di wilayah-wilayah pesisir, terutama pesisir pulau Jawa yang memiliki kepadatan penduduk cukup tinggi sehingga kebutuhan air bersih juga besar.
Sebagaimana ramai diberitakan beberapa minggu belakangan ini, banjir melanda di banyak wilayah pesisir pulau Jawa dari ujung barat hingga ujung timur. Umumnya banjir ini disebabkan oleh dua hal, yaitu curah hujan yang tinggi yang tidak mampu ditampung oleh sungai-sungai yang dipeparah dengan buruknya sistem drainase, dan naiknya air laut ke daratan atau yang dikenal dengan rob.
Rob ini terjadi akibat mencairnya es di kutub dikarenakan pemanasan global (global warming) dan juga dikarenakan banyaknya pengambilan air tanah dalam yang berlebihan yang mengakibatan penurunan permukaan tanah (land subsidence).
Untuk wilayah Pekalongan saja misanya, ada lima kecamatan di Kabupaten Pekalongan dan seluruh kecamatan di Kota Pekalongan terdampak banjir pada Februari 2020 ini. Perlu diketahui bahwa Pekalongan adalah wilayah dengan tingkat penurunan muka tanah terparah di Indonesia, yaitu antara 10-25cm per tahun. Jadi bisa dimaklumi kenapa banjir selalu melanda wilayah ini pada musim rob yang datang bersamaan dengan musim penghujan.
Pernah pada suatu ketika, penulis menemani peneliti dari Belanda meninjau lokasi banjir dan tanggul pada sistem polder yang dibangun oleh pemerintah di kabupaten dan kota Pekalongan dalam rangka penanganan banjir.
Mereka heran kenapa di wilayah pesisir yang dekat dengan laut ada banyak penampungan air raksasa yang sumber airnya berasal dari air tanah dalam?. Hampir setiap RW di wilayah Pekalongan memiliki PAMSIMAS.
Dalam satu desa bisa memiliki beberapa PAMSIMAS. Bisa dibayangkan berapa meter kubik air per hari yang disedot dari perut bumi untuk digunakan oleh masyarakat? Dan itu berkontribusi pada sekian centimenter penurunan permukaan tanah setiap tahunnya.
PAMSIMAS begitu banyak di desa-desa dan di pinggiran kota pesisir Pekalongan dan wilayah pesisir yang lain dikarenakan air di sumur-sumur yang dimiliki oleh warga sudah tidak layak pakai karena berbau atau berubah warna dan berasa asin.
Sebagai contoh, sepuluh tahun yang lalu sumur kluwung di rumah penulis di Kecamatan Tirto kabupaten Pekalongan masih bisa digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, termasuk untuk air minum, tetapi sejak sekitar lima tahun yang lalu sumur itu tidak lagi digunakan untuk sumber air minum karena air sudah berubah warna dan rasa.
Kluwung pada sumur itu dulunya setinggi hampir satu meter, tetapi karena banjir sering datang maka rumah dan sekitarnya diurug. Sekarang kluwung sumur itu sudah rata dengan tanah. Untuk menimba airnya harus jongkok.
Kenapa air sumur warga berbau atau berubah warna dan berasa asin? Hal ini disebabkan karena sudah terjadi intrusi, yaitu masuk atau menyusupnya air laut dan air limbah kedalam pori-pori batuan dan mencemari air tanah.
Air limbah untuk wilayah Pekalongan diantaraya adalah “kontribusi” dari para pengusaha batik dan jeans yang membuang limbah langsung ke sungai atau drainase tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu.
Kerusakan Lingkungan
Penyebab intrusi salah satunya adalah karena pemompaan air tanah (pumping well) yang berlebihan. Jadi ketika warga mengalami kesulitan air bersih layak minum karena adanya intrusi, dan beralih ke sumber air bersih PAMSIMAS, sebenarnya secara tidaklangsung mereka sedang memperparah kerusakan ligkungan di tempat tinggalnya.
Cepat atau lambat, sumber air PAMSIMAS juga akan mengalami masalah. Di Sragen misalnya, sedikitnya 17 sumur dari PAMSIMAS, di wilayah Sragen Utara Bengawan Solo mengering lebih satu bulan lalu. (Sumber suaramerdeka.com; 13 Agustus 2018).
Intrusi dan land subsidence adalah “jebakan betmen”nya PAMSIMAS. Sekilas, secara jangka pendek, PAMSIMAS adalah solusi air bersih bagi masyarakat, tetapi secara jangka panjang justru memperburuk permasalahan tidak hanya masalah air bersih, tetapi juga menjadi jalan menuju masalah banjir yang lebih parah.
Untuk membantu menghentikan laju land subsidence dan intrusi maka program PAMSIMAS harus diganti dengan program lain yang lebih ramah lingkungan. Perlu kajian mendalam yang bersifat solutif jangka panjang dan bukan bersifat jangka pendek apalagi bersifat “proyek”.
Di antara beberapa alternatif solusi, yang tentunya harus melalui kajian komprehensif terlebih dahulu adalah, pengolahan air sungai dan air hujan menjadi sumber air bersih, pipanisasi air dari daerah tinggi/pegunungan ke daerah rendah/pesisir.
Sebagai pembanding dan referensi, pemerintah juga bisa melakukan bench marking ke kota-kota di negara yang sudah berhasil menghentikan atau mengurangi land subsidence seperti Tokyo di Jepang kota-kota lain di dunia.
Trimanah, M.Si
Waga Pekalongan, dosen Ilmu Komunikasi UNISSULA Semarang