Oleh: Amir Machmud NS
NARASI penyajian peliputan kegiatan-kegiatan hari besar keagamaan di negeri yang berkeragaman ideologi sekaya Indonesia ini, secara diam-diam merefleksikan positioning wartawan dalam mengusung model jurnalisme yang (mestinya) penuh toleransi. Wartawan berkesempatan menunjukkan passion keberpihakan terhadap hakikat kebhinekaan.
Natal sebentar lagi datang, dan hari-hari ini wartawan dan media pastilah dihadapkan pada pemberitaan yang terkait dengan perolehan informasi, pengolahannya, penentuan kebijakan redaksional, lalu penyajiannya.
Seperti apa? Apakah kita masih akan terus berkutat pada hal-hal klasik seperti mewacanakan boleh atau tidak boleh umat beragama lain mengucap selamat Natal kepada kolega-kolega Nasraninya? Apakah hanya fokus mengangkat pernyataan para pejabat negara agar elemen-elemen masyarakat tidak melakukan sweeping? Apakah kita hanya sibuk memberitakan berapa personel petugas yang disiagakan kepolisian untuk menjaga gereja-gereja dalam ibadah Natal?
Atau, apakah kita juga hanya secara rutin — tanpa revitalisasi substansi jurnalistik — menginformasikan di titik mana saja anggota Banser dari GP Ansor membantu mengamankan aktivitas saudara-saudara Kristianinya yang sedang menjalankan ibadah?
Lalu apakah memang dibutuhkan adaptasi dengan aksen lebih kuat tentang pemberitaan model “jurnalisme Natal”? Visinya, menciptakan penyegaran agar secara alamiah makin
menunjukkan bahwa kita adalah bangsa besar yang utuh dalam kebhinekaan, dan berbhineka dalam keutuhan.
Jadi, apakah model “jurnalisme Natal” dalam beberapa tahun belakangan ini memang sudah tepat dalam berkontribusi menegakkan nilai-nilai keberagaman dalam keniscayaan kehidupan? Artinya, menyumbang penting dalam konteks ke-NKRI-an?
Respons Klasik
Ketika Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa atau panduan bagaimana seharusnya: boleh atau tidak boleh umat Islam mengucapkan selamat Natal, respons klasik yang telah lama kita pahamilah yang sepatutnya menuntun kita untuk memilih sikap bagaimana sebaiknya.
Diskursus tentang syariah ini bisa dikemas secara bijak di dalam pemberitaan media. Yakni dengan tidak mengonfrontasikan imbuan itu sebagai informasi yang hitam-putih, melainkan menjadi bekal pengetahuan atau referensi bagi mereka yang merasa terkait dan membutuhkannya. Pemberitaan yang tidak konfrontatif itu berkonotasi jauh dari narasi-narasi provokasi. Bahkan umat Nasrani pun bisa ikut memahami sebagai bagian dari keindahan keberagaman. Wartawan membantu MUI untuk menginformasikan imbauan tersebut, tetapi tidak dalam kapasitas untuk ikut membangun opini yang men-judge.
Natal identik dengan opini publik mengenai kesan kecemasan, apabila pemberitaan secara tidak bijak mendorong pemahaman tunggal tentang rigiditas pengamanan oleh aparat kepolisian. Memang terdapat fakta tentang ikhtiar pengamanan secara preventif, terutama terkait dengan kemungkinan teror, namun tentu tidak harus disajikan dengan nuansa kekhawatiran yang seram dan suram. Media bisa memberitakan fakta pengamanan itu sebagai tugas reguler yang natural dan terbiasa “dilihat” oleh masyarakat. Juga bagaimana secara cerdas memberitakan imbauan-imbauan tentang larangan sweeping.
Sebaliknya, penjagaan sejumlah gereja oleh Banser justru layak dikemas dengan blow up sebagai ekspresi toleransi antaragama. Inilah yang bisa di-setting dan di-framing sebagai inspirasi mengenai wujud indah sikap dasar keberagaman. Komitmen Banser, bagaimanapun merupakan perwujudan cinta kebhinekaan yang perlu menjadi contoh elemen-elemen kemasyarakatan lainnya.
Sadar Kebhinekaan
Positioning wartawan dalam peliputan nan indah tentang perayaan Natal, juga hari-hari raya keagamaan lainnya, menuntut pengungkapan sikap dasar yang “dari sononya” seharusnya melekat, yakni sadar kebhinekaan. Wartawan peliput perayaan Natal tidak harus mereka yang kristiani, sama halnya dengan pemberitaan Idul Fitri, Idul Adha, atau Maulid Nabi tidak harus diliput oleh wartawan muslim.
Tuntunan dasar dalam tafsir Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik adalah memberi ruang yang sama bagi kekuatan dan kepentingan mana pun. Yang membedakan bukan latar belakang agamanya, tetapi kompetensi kewartawanannya. Sikap inilah yang seharusnya tertransformasi dan dihayati sebagai “darah dalam nadi” profesi kewartawanan.
Merefleksikan pendekatan peliputan hari-hari besar keagamaan jelas membutuhkan sikap toleran, legawa, adil, berimbang, dan penuh dengan ghirrah kebhinekaan. Dengan sikap inilah kita menyegarkan kembali fungsi media untuk memberi informasi dan memberi edukasi.
Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah