Oleh: Idham Cholid
BEBERAPA hari terakhir kita disuguhi pemberitaan yang sangat memilukan dan memalukan. Persekusi terhadap Habib Haddad Alwi (HA), justru ketika dia tengah memimpin jamaah bershalawat pada sebuah acara di daerah Sukabumi.
Alasannya, karena dia dianggap menyebarkan syiah di tengah mayoritas masyarakat sunni.
Tuduhan Syiah
Benarkah HA pengikut syiah dan mensyiarkannya dalam setiap kali dia memimpin jamaah bershalawat?
Tuduhan syiah kepada HA hanya karena dalam bershalawat dia mengajak jamaah untuk mengangkat tangan, sangatlah tidak beralasan. Jika hanya itu dasarnya, justru mereka sangat dangkal memahaminya.
Syiah tidak sesederhana itu. Ajaran dan aliran di dalamnya juga kompleks. Mereka yang mengaku sunni juga beragam corak dan perilakunya.
Ada yang toleran dan ramah. Sebaliknya, ada pula yang intoleran dan radikal. Ada yang mengaku salafi tapi sekaligus juga takfiri, bahkan tokoh utama pendiri ISIS di Baghdad juga mengaku sunni.
Syiah yang toleran juga ada, terutama yang ada di Yaman. Yang “ekstrem” meski tinggal di Indonesia juga ada.
Apa ciri mereka yang ekstrem itu? Membenci Khulafa Al-Rasyidin selain sayyidina Ali Ra, dan juga membenci Ummu Al-Mukminin selain sayyidatina Kadijah Rha, merupakan ciri utama mereka.
Namun jika kecintaan kepada sayyidina Ali Ra dan Ahl al-Bait kemudian dianggap syiah, bukankah kita juga sangat mencintainya?
Kita mencintai semua sahabat Nabi, semua istri Nabi, putra putri dan keturunan Nabi, bahkan kepada para Habaib yang dianggap masih dzurriyah Nabi juga kita sangat memuliakannya.
Bersumpah
Pada suatu kesempatan ketika berkumpul di kediaman Mbak Ma’rifah beberapa waktu lalu, saya pernah bertanya secara khusus kepada HA tentang tuduhan syiah kepada dirinya.
Bib, benarkah Anda Syiah? Demikian pertanyaan saya to the point. Beliau menjawab panjang lebar, sampai pada kalimat terakhir : Demi Allah, demi Rasulullah, saya melaknat siapa pun mereka yang membenci apalagi sampai melaknat para sahabat dan isteri-isteri Nabi.
Dengan jawaban dan sumpah seperti itu bagi saya sangat jelas, HA bukanlah syiah sebagaimana yang dituduhkan selama ini.
Sekali lagi, jika hanya karena bershalawat dengan mengangkat tangan, itu hanya sekedar gaya yang dibawakannya.
Dimanapun HA bershalawat, begitulah gayanya. Bahkan saat memimpin shalawatan di Pesantren Al-Anwar Sarang, almarhum Mbah Maimoen dengan semangat ikut juga mengangkat tangan sampai menitikkan air mata.
Tentu, gaya itu belum seberapa dibanding para syekher mania (pecinta Habib Syekh) yang sampai mengibar-ngibarkan bendera segala. Itulah ekspresi cinta kepada Nabi Saw yang tak terkira.
Pemerintah Harus Tegas
Tentu kita semua sangat menyayangkan tindakan buruk main hakim sendiri, masih saja terjadi sampai saat ini. Dengan alasan apa pun sebenarnya, hal demikian tak bisa dibenarkan. Apalagi hanya atas dasar fitnah menyebarkan ajaran syiah, misalnya.
HA mungkin tak apa-apa, dia sudah memaafkan semuanya. Dendam pun tidak. Bahkan dia justru mendoakan, semoga mereka diberi hidayah. Sungguh mulia akhlaqnya!
Tak lama setelah kejadian Sukabumi, saya telepon HA. Saya sampaikan: Bib, inilah cara Allah mengangkat derajat Anda lebih tinggi, Anda akan lebih terkenal lagi.
Tapi bukan itu masalahnya. Di tingkat HA secara pribadi bisa saja dianggap selesai. Namun, ini persoalan serius berkaitan dengan harmoni kehidupan berbangsa kita.
Maraknya tindakan makin hakim sendiri, semakin memprihatinkan justru karena dibungkus dengan jubah agama. Ada yang menganggap dirinya sebagai Pembela Islam tapi justru merendahkannya karena tindakan yang dilakukan sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam itu sendiri.
Islam harus ramah dan bermashlahah, karena prinsip ajarannya adalah rahmat. Mengembangkan nilai-nilai Islam yang toleran, beradab, mewujudkan kehidupan berbangsa yang damai, tentu bukan hanya menjadi tanggung jawab ulama dan pemuka agama.
Yang terpenting justru ketegasan pemerintah itu sendiri. Ya pemerintah, karena mempunyai perangkat yang sangat lengkap untuk bisa “menekan” laju pertumbuhan paham intoleran dan radikal. Pemerintah tak boleh main-main, apalagi sekedar kompromi untuk kepentingan kekuasaan!