Oleh Amir Machmud NS
MOHAMED Salah Hamed Mahrouz Ghaly tak cukup ditandai hanya dari kecepatan dan “kebrutalannya”dalam mengirispertahanan lawan. Gol-gol yang dia lesakkan adalah “narasi pembunuhan yang puitis”. Membobol gawang, bagi pria asal Nagrig, Mesir ini, dilakukan dengan ekspresi kegembiraan yang unik. Gol-gol nan artistik dia goreskan.
Anda tentu tetap mengenang gol-gol Robin van Persie yang juga indah dan “puitis”. Ungkapan seni berbalut teknik tinggi, yang tak sembarang striker bisa melakukannya. Tak sembarang mesin gol punya kemampuan selangka penyerang Belanda itu. Dan, kini Mo Salah beberapa kali menunjukkan betapa seni sepak bola juga melingkupi pembahasaan gol dengan naluri pengungkapan yang seelok untaian kata karya pujangga.
Neymar Junior pernah dikritik karena daya sihir teknik nutmeg(mengolong lawan) yang membuat pemain penjaganya kecele. Pemain Brazil itu acap “mengerjai” para pemain belakang lewat teknik aneh-aneh khas jogo bonito, nyaris di luar nalar teknik sepak bola. Di La Liga, tak jarang dia dituding tidak punya respek karena suka unjuk kemampuan yang dipandang sebagai “kesombongan” yang “melecehkan” saat dia mendribel bola mengelabuhi lawan.
Akan tetapi bukankah itu adalah ekspresi seni? Dan, sejatinya aksi-aksi Neymar itu sama dengan ketika Lionel Messi meliuk-liuk tak tercegat oleh barikade berapa pun jumlah pemain lawan. Seperti pula Son Heung-min yang unjuk gerakan solo tak terbendung hingga ke muka gawang dan menghunjamkan bola.
Dan, Mohamed Salah mengungkapkan seni gol ala narasi teknis Van Persie. Gol tak cukup tercipta sebagai gol, tetapi dengan nuansa keindahan. Kelembutan seperti kuas seorang pelukis yang menari-nari di atas kanvas. Atau, tak berlebihan jika dia disebut sebagai “pujangga gol”.
Simaklah bagaimana dua gol Mo Salah yang dicetak ke gawang Watford di Liga Primer, pekan lalu. Keindahan placingbola dengan kaki kanan ke pojok atas kiri gawang adalah karya cipta yang memesona. Apalagi gol nutmeg-nya lewat tendangan backheel yang merobek telak gawang Watford. Hanya pemain dengan kemampuan teknik tinggi, naluri timing dan presisi kelas wahid yang mampu mengerjakannya.
Tiga hari sebelumnya, dalam laga akhir babak grup Liga Champions melawan Salzburg, dia juga membuat gol yang betul-betul “ajaib”. Tentu unsur-unsur dari unit pertahanan Salzburg tak mengira tendangan yang seperti asal-asalan, datar melintir dari kondisi sesulit itu bisa mengirim bola dalam posisi horisontal, meluncur menghampiri gawang, dan gol!
Peraih Puskas Award 2018, dengan gol-gol eksepsional itu seolah-olah menegaskan dia memang memiliki naluri seni yang membedakan dari para penyerang lainnya. Dia tidak hanya monster pembobol gawang lawan dengan kecepatan dan terutama kekuatan kaki kirinya, melainkan juga dengan cara, ketepatan mencari ruang, menciptakan celah pemanfaatan dari sudut-sudut yang “tidak mungkin”.
* * *
PEMAIN yang dinilai menjadi representasi humanisme Islam di Inggris itu menjelma sebagai pilar penjamin kemenangan Liverpool sejak Juergen Klopp merekrutnya pada 2017 dari AS Roma. Ditransfer Chelsea dari FC Basel pada 2014, dia kurang berkembang di Stamford Bridge. Jose Mourinho meminjamkannya ke Fiorentina, dan justru kondisi “pembuangan” itu menjadi blessing in disguise, anugerah tak ternyana. Di Florence, Mo Salah berkembang dengan karakter sebagai pencetak gol subur dan pelari cepat yang mengiris-iris sayap. AS Roma terpincut merekrutnya secara permanen, sampai kemudian dia berlabuh menjadi ikon The Reds.
Legenda AS Roma, Francesco Totti sudah memprediksi Salah bakal berkembang seperti sekarang karena ketekunan, kerendahhatian, dan kemauannya untuk terus belajar dan berlatih. Interaksi dan bimbingan sang senior itulah yang antara lain menyuntikkan kepercayaan diri Mo Salah.
Membentuk triangle mematikan di Liverpool bersama Sadio Mane dan Roberto Firmino, Mo Salah berkontribusi besar mengantar klubnya meraih trofi Liga Champions 2019, dan musim ini di ambang menjadi juara Liga Primer. Sejak musim 2017-2018, trio ini sudah membendaharakan 135 gol di liga. Di separuh musim sekarang, peran menentukan Salah — setelah beristirahat karena cedera — makin terasa.
Sejarah Liverpool kelak akan mengukir nama Salah sebagai legenda berkemampuan gol langka. Juergen Klopp terbukti bisa menggali dan mengeluarkan potensi terbaik permain berjejuluk The Pharaoh itu. Sementara itu, fans Anfield Gang bakal mengenangnya sebagai idolatrika yang “pemain berkarakter kuat”, simbol muslim humanis yang setidak-tidaknya mengikis fenomena Islamophobia di Inggris.
Gol-gol Salah yang sering menjadi penentu kemenangan, juga akan menandai referensi sepak bola tentang seni dan narasi-narasi puitis kemampuan anak manusia. Bukan ekspresi talenta alamiah ala pemain-pemain Brazil, tetapi ungkapan seni dan kematangan karena ketekunan mengasah bakat, dorongan kemauan, dan pembahasaan naluri yang menggejolak dalam jiwa. Ibaratnya, dia membunuh lawan dengan jejak tembakan peluru yang (justru) memesona.
Mo Salah adalah “bahasa gol” sang pujangga yang selalu indah merangkai kata…