blank
Plt Bupati Hartopo di tengah perkebunan kopi di lereng Pegunungan Muria. foto:Suarabaru.id

KUDUS (SUARABARU.ID) – Pemerintah Kabupaten Kudus terus berupaya untuk mendorong pemasaran kopi muria. Ditargetkan kopi muria bisa masuk pasar internasional.

“Kami akan berupaya terus supaya Kopi Muria bisa dipasarkan lebih luas,” jelas Plt Bupati Kudus HM Hartopo saat mengenalkan kopi muria di Graha Muria Colo, Sabtu (21/12).

Ia mengatakan, Kopi Muria merupakan warisan zaman kolonial Belanda. Di wilayah Gunung Muria ada sebanyak 452 hektare lahan yang berpotensi untuk ditanami Kopi Muria. Apalagi, dalam satu hektarenya diperkirakan mampu memproduksi dua ton kopi. “Tinggal petani kopi perlu ada pendampingan dari pemerintah,” ungkapnya.

Atas hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Kudus berupaya untuk mendorong peningkatan Kopi Muria. Pemerintah akan berupaya untuk memberikan bantuan kepada petani. Baik berupa alat pembuatan kopi hingga pendampingan kepada para petani kopi.

“Dari Dinas Tenaga Kerja,  Perdagangan, Pariwisata untuk bersama-sama bersinergi dengan permodalan pendampingan pelatihan untuk kopi muria harus diagendakan untuk kedepan,” jelasnya.

Tak hanya itu saja, Hartopo pun meminta kepada semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkungan pemerintah Kabupaten Kudus untuk menyedikan Kopi Muria. Kopi Muria ini sebagai konsumsi minum yang bersumber dari anggaran minum.

“Selain itu juga, kalau kepala desa ke tugas ke luar kota untuk membawa Kopi Muria. Ditunjukan di kenalkan bahwa ini Kopi Muria,” jelasnya.

Dengan demikian, Kopi Muria dapat dikenal masyarakat luas. Tidak hanya Kudus saja, melainkan bisa ke pemasaran internasional.

Sejarah panjang

Sementara, keberadaan kopi Muria sendiri berawal dari sejarah yang panjang di era kolonial. Beragam literatur menunjukkan kopi mulai ditanam di lereng pegunungan Muria saat diberlakukannya sistem tanam paksa di tahun 1825 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes Graaf Van Den Bosch.

blank
Kopi Muria kini menjadi salah satu produk perkebunan andalan Kabupaten Kudus. foto:dok/Suarabaru.id

Tahun 1910 pemerintah kolonial menghapuskan program tanam paksa dan menetapkan bagian hutan di lereng Muria sebagai kawasan hutan. Setelah terbit keputusan tersebut, mulai 1920 tiap petani yang memiliki lahan kopi di tanah milik negara diberi hak memungut hasil selama 5 tahun, yang dikenal dengan Koffie Met Plukrecht (KMP).

Pada 1925 KMP seharusnya dihapus, namun faktanya di Colo dan Japan masih ada. Bahkan mulai 1942 lahan tanaman kopi makin luas sehingga muncul sengketa tanah hutan di dua desa itu.

Pada era kemerdekaan, tahun 1972 terbit surat keputusan Gubernur Jateng untuk menetapkan hutan di Colo dan Japan berfungsi sebagai hutan lindung. Namun,  keberadaan tanaman kopi sudah terlanjur menjadi nafas penghidupan masyarakat.

Rasa kopi Muria mantap, berbeda dari kopi daerah lain. Kopi yang ditanam di lereng gunung pada ketinggian sekitar 800-1000 mdpl itu ditanam turun-temurun berjenis Robusta dan sedikit jenis Arabica.

Kopi Muria memiliki cita rasa khas yang berbeda dari daerah lain. Aroma kopi Muria wangi dan ada rasa rempah-rempah serta akar-akaran.

Sayangnya, kopi Muria masih diolah secara tradisional. Meski kualitas kopi Muria tergolong cukup baik, namun jika pengolahannya tidak maksimal, nilai ekonomisnya menjadi kurang.

Beberapa waktu sebelumnya, petani menjual kopi Muria dalam bentuk  biji kopi basah (belum dikeringkan atau diolah) sekitar Rp 550 ribu per kuintal. Kebanyakan petani menjual dalam bentuk biji kopi basah ke tengkulak. Namun, kini kopi Muria sudah mulai diolah dan dikemas terlebih dahulu hingga harganya pun menjadi lebih tinggi.

Areal kebun kopi di kawasan Pegunungan Muria saat ini menempati lahan milik warga, juga menggunakan tanah milik negara yang dikelola Perhutani Jawa Tengah. Petani menanam kopi di bawah tegakan pohon-pohon besar di kawasan hutan lindung itu.

Tm/Ab