Peran Guru Selaku Pelestari Nilai-nilai Pancasila
Oleh:
Tri Tristyarini & Ira Alia Maaerani
Guru memberi peran penting dalam membangun pendidikan dalam sebuah negara. Tugas guru bukan hanya menyampaikan ilmu dan membimbing peserta didik, akan tetapi guru juga dituntut untuk mampu menjadi role play dalam menanamkan nilai moral dan norma agama.
Disini guru juga berkewajiban mencerdaskan dan anak didik, yang dimaksud mencerdaskan yaitu peserta didik cerdas baik secara spiritual, sosial, dan intelektual.
Selain itu guru juga harus mengajarkan nilai kebaikan kepada peserta didik, nilai kebaikan seperti jujur, bertanggung jawab, disiplin, mandiri, toleransi dan sebagainya, nilai-nilai ini yang tidak boleh terlupakan dalam proses pendampingan seorang guru dalam melakukan proses pembelajaran.
Guru adalah icon sebuah negara. Jika warga negara tersebut cerdas dalam berbagai bidang, maka dibalik kecerdasan itu gurulah yang menjadi pemeran utama penghantar kecerdasan tersebut.
Dalam upaya melestarikan Pancasila sebagai ideologi bangsa, guru harus menjadi contoh, mengarahkan, dan membimbing peserta didik untuk mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Seperti yang kita ketahui bersama, Pancasila memiliki nilai-nilai seperti bunyi sila-sila dalam Pancasila yakni: Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Kelima nilai tersebut harus diajarkan kepada peserta didik dan diharapkan peserta didik mampu menerapkan kelima nilai tersebut. Disini peran guru sebagai role play penerapan nilai-nilai Pancasilaan sangat dibutuhkan.
Saya sebagai future teacher harus mempersiapkan diri untuk menyelaraskan nilai Pancasila dan mengamalkannya dengan perilaku keseharian saya yang akan saya tularkan kepada peserta didik saya. Bagaimana caranya?
Guru = Digugu dan Ditiru
Sosok guru diidealkan menjadi sosok yang dapat dipercaya. Baik akhlaknya, keluarganya, kepandaiannya. Menjadi tuntunan di masyarakat. Apalagi bagi peserta didik. Maka ada yang mengatakan idiom guru identik dengan dengan akronim digugu dan ditiru. Guru adalah sosok yang dapat dipercaya (digugu) dan dicontoh (ditiru) sebagai suri tauladan.
Dalam rangka penerapan nilai-nilai Pancasila sila kedua yaitu, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” sebagai guru sudah semestinya memperlakukan setiap peserta didik secara manusiawi. Menegaskan kepada peserta didik bahwa pada hakikatnya semua manusia itu memiliki derajat, martabat, hak dan kewajiban yang sama.
Guru juga harus mencontohkan dan membimbing peserta didik agar menjunjung tinggi nilai kesopanan dalam pergaulan antar teman, membantu teman yang sedang kesusahan, tidak merendahkan dan menyakiti perasaan teman, mengembangkan sikap tenggang rasa. Menghormati orang tua, sayang pada sebaya dan peduli serta perhatian pada adik-adik juniornya.
Peran guru terkait pelestarian Pancasila tidak hanya berkaitan dalam proses pembelajaran melainkan juga menyikapi peserta didiknya ketika berperilaku baik maupun buruk.
Seperti ketika peserta didik melakukan kesalahan, guru tidak semestinya menghukum dengan hukuman yang tidak manusiawi seperti memukul, mempermalukan, dan tindakan yang tidak bermoral lainnya. Meskipun itu akan memberi efek jera terhadap peserta didik namum mental mereka akan terganggu.
Maka adalah sebuah kekeliruan jika guru memberikan sanksi hukuman yang dinilai tidak manusiawi. Hukuman fisik seperti memukul dengan sepatu, sapu, menampar, mencubit, menendang, dikurung di WC atau gudang sekolah dan jenis hukuman fisik lainnya, dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan seperti diamanahkan sila kedua Pancasila.
Peserta didik mempunyai hak untuk diperlakukan dengan baik. Meski mereka pernah melakukan kesalahan. Sebagai guru kita harus bijak dalam menangani hal seperti ini. Lalu hukuman apa yang pantas diberikan kepada peserta didik?
Hukuman yang Manusiawi
Media melaporkan berbagai corak konflik antara guru dan murid (peserta didik). Diantara pemberitaan tersebut salah satunya dimotori oleh sistem sanksi (hukuman) yang dinilai kurang mendidik.
Oleh karena itu, nampaknya perlu sebuah riset di bidang dunia pendidikan untuk menghasilkan sebuah model sanksi (hukuman) terbaik bagi peserta didik. Hukuman yang memberikan efek jera akan tetapi tidak menimbulkan sakit hati, dendam berkepanjangan apalagi kerugian (cacat) fisik.
Sebagai contoh alangkah baiknya peserta didik dinasehati, diberi pengarahan bahwa apa yang telah ia lakukan tersebut kurang baik. Disentil rasa kemanusiaannya sebagai hamba Allah yang mengemban amanah orang tua untuk menuntut ilmu dengan baik. Sebagai perwujudan berbakti pada orang tua.
Jikalau masih terulang kesalahan tersebut, maka bisa diberi sanksi untuk membantu kegiatan dalam lingkungan sekolah seperti membersihkan halaman sekolah, membantu merapikan buku di perpustakaan, menolong sesama teman dan lainnya. Selain memberi hukuman guru juga mengajarkan peserta didik untuk menghormati lingkungan, menumbuhkan tenggang rasa dan peduli kepada teman.
Peran guru selaku pelestari nilai-nilai Pancasila sangat dibutuhkan dalam era milenial ini. Peran ini mampu memberi dobrakan moral yang sangat baik dalam upaya membentuk karakter bangsa. Pelestarian nilai-nilai Pancasila juga menentukan keberlangsungan eksistensi Pancasila. Dimana nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus kita junjung tinggi keberadaannya.
(Tri Tristyarini, mahasiswa Fakultas Bahasa dan Ilmu Komunikasi (FBIK) Unissula & Dr. Ira Alia Maaerani, S.H., M.H., dosen Univeristas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang).
Suarabaru.id