Ratusan Warga Berebut Banyu Panguripan
KUDUS – Ratusan warga berebut ‘banyu panguripan’ Menara Kudus yang merupakan air hasil penyatuan dari 51 sendang atau mata air yang ada di Kudus, Senin (25/3). Penyatuan banyu panguripan tersebut merupakan bagian dari rangkaian perayaan Ta’sis (hari jadi) Masjid Menara Kudus.
Air-air tersebut kesemuanya diambil oleh masing-masing juru kunci sendang atau mata air yang terpencar di seluruh penjuru Kudus, seperti mata air Bunton, Rahtawu, Sendang Dewot, Wonosoco, sendang Dudo, Hadipolo, serta berbagai mata air legendaris di berbagai wilayah di Kudus. Air tersebut kemudian diletakkan di wadah berupa gentong tanah berukir, dan diarak melalui kirab dari Pendapa Kabupaten menuju halaman menara Kudus.
Ikut serta pula dalam kirab Bupati Kudus HM Tamzil, Wabup Hartopo, serta jajaran Forkopinda. Dengan mengendarai kuda, bupati dan pejabat Forkopinda berjalan dan diikuti rombongan peserta yang membawa 51 gentong air dari berbagai sumber mata air.
Sesampainya di Menara Kudus, air kemudian disatukan dalam sebuah gentong tanah berukir. Selama prosesi kirab hingga proses penyatuan air, juga diiringi ritual khataman Alquran sebanyak 19 kali.
”Jadi, selain berasal dari sumber mata air dari seluruh penjuru Kudus, air tersebut juga disatukan dengan lantunan khataman Alquran sebanyak 19 kali,”kata Abdul Jalil, panitia Ta’sis Menara Kudus.
Mitologi ‘Sumur Panguripan’
Jalil mengungkapkan, banyu panguripan tak lepas dari mitologi ‘Sumur Panguripan’ yang konon berada di bawah Menara Kudus. Sebuah tempat peribadatan seperti halnya Masjid Menara Kudus, tentu memiliki sumber air suci yang tak hanya berfungsi untuk mencukupi kebutuhan yang bersifat biologis, tapi juga fungsi peribadatan seperti bersuci atau ritual lainnya.
Menurut Jalil, berdasarkan risetnya, keberadaan sumur Panguripan tersebut bukan mitos. Berdasarkan cerita folklore dari almarhum Kiai Khoirizyad, salah satu kiai kharismatik Menara Kudus, sewaktu kecil sering bermain di sekitar menara. Serta mengetahui, bahwa di kawasan menara ini terdapat sumur.
“Secara empiris, kami juga menemukan adanya petunjuk. Tiga tahun lalu, Menara ini kami keduk muter diameter satu meter. Pengedukan ini dilakukan karena adanya getaran jalan yang ditimbulkan kendaraan lewat. Biar tidak terdampak getaran kendaranaan, maka kami keduk. Pada saat kedalaman 120 cm, yang mengeduk tidak berani. Karena menemukan air yang baunya wangi,” terangnya.
Perkembangan selanjutnya, di setiap wilayah muncul tokoh dari pengikut Sunan Kudus dengan kekuatan simpulnya sendiri, membangun daerah dengan kekhasan masing-masing. Namun tetap nyambung dengan sel utamanya di Menara.
Jika di Menara Kudus memiliki air suci yang disebut “Banyu Penguripan”. Maka di berbagai wilayah ditemukan Belik dan Sendang yang juga memiliki “air suci” yang difungsikan untuk fungsi ibadah dan fungsi sosial lainnya.
Oleh karena itu, melalui kirab banyu panguripan tersebut, Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus ingin menjadikan mitologi tersebut sebagai kohesi sosial bagi seluruh warga Kudus. Karena diakui atau tidak, Menara bisa dikatakan cikal bakal peradaban Kudus.
”Kami ingin menjadikan Menara sebagai pusat kohesi sosial masyarakat Kudus. Tidak ada lagi sekat Kudus Kulon, Kudus Wetan sehingga sentrum dari Kudus ya Menara ini,” ujar Jalil.
Suarabaru.id/Tm