blank
Berpose: Amir Machmud NS dan salah satu pelari Borobudur Marathon Husnun Juraid (Tengah).

MARATHON dunia dengan pembeda. Itulah mimpi para pemangku kepentingan Borobudur Marathon yang saya tangkap dari event 2018, Minggu (19/11) kemarin. World Marathon Majors (WMM) lewat representasi sejumlah lomba lari jarak jauh internasional seperti New York City, Boston, Berlin, atau Tokyo Marathon memang telah menggaung sebagai ikon kebesaran sport tourism negara-negara tuan rumah.

Marathon-marathon itu menjadi legenda yang waktunya selalu ditunggu. Akan tetapi, Borobudur Marathon jelas punya potensi yang lebih khas, dan berbeda. Candi Borobudur, salah satu objek wisata warisan budaya dunia yang telah diakui oleh UNESCO, tak kalah megah dari kebesaran “Kota Candi” Angkor Watt di Siem Reap, Kamboja.

Dengan latar fisik dan historikanya, event Borobudur Marathon ini telah menjadi “panggilan” yang terjadwalkan dalam agenda para pelari nasional dan internasional, termasuk wisatawan mancanegara.

Stakeholders yang sangat menonjol berperan adalah Yayasan Borobudur Marathon dengan ketua sekaligus penyangga event ini, yakni Liem Chie An. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo secara struktural ke garis pemerintahan Kabupaten Magelang mendukung dan merawatnya sebagai agenda penting, yang antara lain tercermin dari peran sponsorship Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Bank Jateng yang kini dikomandani dirutnya yang energik, Supriyatno.

Meraih Mimpi

Semua unsur warga masyarakat terlibat dengan kapasitas masing-masing. Unsur-unsur pemangku kepentingan itu disatukan oleh event organizer (EO) Grup Kompas, yang selama tiga tahun penyelenggaraan terus berikhtiar memacu kelas event. Impian menyejajarkannya dengan marathon-marathon dunia dipelajari lewat studi banding, lalu melengkapi syarat-syarat yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan untuk meningkatkan kualitas.

Kolaborasi olahraga dan pariwisata, pertama-tama tentu mengandalkan performa Borobudur, yang dalam peta turisme internasional bergandeng dengan pengenalan dunia tentang Pulau Dewata, Bali. Tepatlah apa yang beberapa kali diungkapkan oleh Liem Chie An, bahwa selama enam tahun sejak 2013 dia termotivasi untuk secara konsisten berusaha lebih menduniakan Candi Borobudur.

“Saya ingin membaktikan kontribusi untuk daerah kelahiran saya Magelang, sekaligus Jawa Tengah, dan Indonesia. Saya yakin Borobudur akan makin menggaung dengan adanya event marathon ini,” ungkap pria 62 tahun yang akrab dengan panggilan King Kong itu.

Yang seharusnya terus dieksplorasi sebagai pemacu semangat peningkatan kualifikasi Borobudur Marathon ini adalah kemenyatuan para pemangku kepentingan yang punya visi sama, memberi yang terbaik untuk Indonesia. Dan, itu tentu merupakan potensi besar, yang secara sistematis juga dirangkaikan dengan penyelenggaraan Borobudur InterHash, beberapa pekan sebelum hari H marathon.

Liem Chie An — pengusaha bidang peternakan ayam — itu sering menyebut nama-nama tokoh yang menyemangati dan mendorongnya agar terus membesarkan Borobudur Marathon. Gubernur Ganjar dia nilai sangat menginspirasikan semangat public relations yang kuat dalam memasarkan event ini.

Sebelum itu, Chie An juga merasa sangat didukung oleh sahabatnya, Prasetyo Aribowo saat masih menjadi Kepala Dinas Pariwisata. Ide-ide Prasetyo dia serap dan tuangkan. Lalu ada nama Budi Santoso yang banyak mendorong ketika menjabat Kepala Dinas Olahraga Provinsi Jawa Tengah. Ada pula nama Kardiono, purnawirawan jenderal yang mampu meyakinkan Chie An untuk terus membaktikan pikiran, tenaga, dan materi dalam setiap penyelenggaraan Borobudur Marathon.

Liem Chie An juga banyak menyebut peran elemen-elemen masyarakat yang menurut dia sangat mendukung kegiatan ini. Sebuah mimpi tak boleh dimaknai sebagai utopia. Impian adalah penyemangat untuk mewujudkannya dengan ikhtiar yang tak kenal lelah. Keagungan Candi Borobudur mesti dipandang sebagai potensi dan faktor pembeda yang tidak dimiliki negara mana pun. Atau dalam ungkapan Dirut Bank Jateng Supriyatno, “Borobudur Marathon itu bukan lomba lari yang biasa…”

Artinya, ada nama besar Candi Borobudur yang melekat sebagai label pembeda. Jadi, mengapa kita tidak mengayun tekad lebih kuat untuk menyempurnakan impian itu? (suarabaru.id/Amir Machmud NS, wartawan Suara Merdeka dan Ketua PWI Jawa Tengah)