REMBANG-Wisata toleransi, inilah eksotika realitas kehidupan yang terasa berdenyut sebagai warna keseharian di Kabupaten Rembang, khususnya Lasem.
Multikulturalitas dan pluraritas menyatukan interaksi di seluruh sendi kehidupan dalam adonan entitasras dan agama. Tanpa formalitas yang berasa normatif, tetapi mengalir alamiah sebagai bagian dari keseharian kehidupan masyarakat Lasem.
Jadi, tak berlebihan kita menganggit semacam tagline, “Jika Anda ingin belajar tentang toleransi, datanglah ke Lasem”.Dan, salah satu symbol ketokohan yang menjadi sumber pemancaran sikap toleran itu adalah Gus Zaim, ulama muda yang bernama asli KH Zaim Ahmad Ma’shoem.
Nama Gus Zaim sangat populer. Pastilah pembaca pernah mendengar,menyimak, atau bahkan sudah akrab dengan sosok ramah tersebut. Dia adalah symbol referensi kehidupan toleransi antar etnis dan agama di Rembang, lewat Pondok Pesantren Kauman yang selalu terbuka untuk menerima siapa pun dan tanpa memandang sekat apa pun.
Pemimpin pondok yang berwajah teduh itu merupakan kombinasi dari berbagai peran: ulama, tokoh keberagaman, sekaligus “dutawisata” Kabupaten Rembang. Kalau kehidupan toleran dijadikan “jujugan” atau destinasi setiap orang yang ingin menyerap keteladanan interaksisosial di Lasem, maka Gus Zaim-lah referensinya. Dia“pustaka hidup” yang selain menjadi sumber sejarah, juga mempraktikkan eksotika toleransi itu dalam pergaulan dan kehidupan sehari-harinya.
“Ini interaksi yang telah melekat sebagai karakter kehidupan di sini sejak zaman nenek moyang.Sejarahnya panjang, dengan fondasikultural yang sudah lama melekat,” tutur ulama yang bersahabat dengan para tokoh etnis China yang juga menjadi penjaga tradisi interaksi seperti Boen Hong, Rudy Hartono, Santoso Hartono, serta sejumlah anak muda yang punya kepedulian tinggi.
Lalu di mana posisi “wisata toleransi” dalam petapariwisata Rembang, untuk menyusun semacam “puzzle”kehidupan yang bias dilihat, diamati, dan diteladani?
Menengok dunia pariwisata Rembang bakal merentangkan sambungan-sambungan tiga kategori besar. Pertama, wisatasejarah/ heritage atau living tourism. Kedua,wisata bahari/ alam, dan ketiga wisata kuliner.
Khusus dalam kategori sejarah, pariwisata Rembang mengetengah karena realitas kehidupan dengan menikmati interaksi social warga Lasem yang lintas etnik dan agama, dan itu benar-benar mengembarakan keindahan“rasa”. Penikmatan, ketakjuban, dan tentu imajinasi, betapa Lasem adalah “Indonesia mini” yang mengedepankan implementasi kebhinekaan, dan pertanyaan yang kemudian mengikuti adalah bagaimana anak-anak bangsa menyerapnya sebagai transformasi karakter?
Penelitian Tim Unnes
Saya menyambut baik ketika tim dari Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang menggandeng saya untuk melakukan penelitian di Rembang. Fokusnya, mencari dan memformulasikan modul pendidikan karakter dengan berkaca pada kehidupan nyata toleransi masyarakat Lasem.
Tim Penelitian Strategis Nasional Riset danTeknologi Dikti itu terdiri atas dua guru besar Tri Marhaeni Pudji Astuti dan Dewi Liesnoor Setyawati, serta Edi Kurniawan,dan saya sebagai mitra pendamping.
Jauh hari sebelumnya, yakni padaawal 2017, PersatuanWartawan Indonesia (PWI) Provinsi Jawa Tengah bergandeng dengan Pemerintah Kabupaten Rembang mengadakanWisataJurnalistik sebagai salah satu mata kegiatan peringatan Hari Pers Nasional Tingkat Jateng di kota itu.Bupati Abdul Hafidz menyambut antusias, karena menilai safari tersebut bakal menjadi determinan dalam penyerapan gagasan dan sosialisasi pengembangan pariwisata di daerahnya.
Begitulah akhirnya, rombongan wartawan dari berbagai daerah di Jateng, yang dikoordinasi oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Dwi Putranto,dipimpin wartawan spesialis pariwisata Widyartono Radyan, bersafari mengunjungi Sembilan destinasi pengembangan pariwisata. Beberapa bulan kemudian, tim peneliti Unnes yang tertarik dengan kegiatan PWI itu mengajukan proposal penelitian yang berbasis pada sejumlah temuan PWI dalam wisata jurnalistiknya.
Tim Khusus Pemkab
Kini sangat terasa betapa Pemerintah Kabupaten Rembang sedang menggenjot potensi unik pariwisatanya. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Dwi Purwanto, pihaknya membentuk tim khusus untuk mewujudkan asset potensi pariwisata Rembang, khususnya Lasem.
Gaung pergerakan pemasaran wisata kini mulai terasa.Ketika banyakd aerah lain menggenjot potensi pariwisatanya, Rembang tampak makins adar memiliki keunikan destinasi dibandingkan dengan daerah lain. Ada keunggulan kompetitif yang benar-benar merupakan “faktor pembeda”.
“Kami membentuk tim khusus untuk membuat master plan,yang mematangkan konsep Lasem sebagai Kota Pusaka. Tim itu terdiri dari berbagai pemangku kepentingan, dengan tema komprehensif antara wisata budaya, bahari, dan heritage,” katanya.
Pada awal kunjungan lapangan, tim peneliti Unnes menemukan tiga kategori besar potensi pariwisata di Rembang, yang meliputi pariwisa tasejarah/ heritage/ living tourism, bahari/ alam, dan kuliner. Ketiga kategori itu menyatu dalam tema besar kehidupan di Rembang, dan terutama di Kecamatan Lasem, yakni interaksi sosial yang berbasis sikap toleran.
Modul pendidikan karakter untuk transformasi cultural sikap toleran dijadikan sebagai puncak piramida penelitian tersebut. Formulasinya mencakup apa yang biasa disebut oleh para tokoh Lasem sebagai Wisata Toleransi.
Tujuannya bukan sekadar bagaimana memaparkan fakta-fakta kehidupan toleran itu bias dijadikan pelajaran tentang hidup ditengah keniscayaan keberagaman. Yang menjadi tujuan penelitian, bagaimana karakter interaksi antar etnis dan antar agama itu bias ditransformasi sebagai contoh pendidikan karakter bagi anak bangsa.
Dalam tiga kategori tersebut, Rembang benar-benar kaya potensi pariwisata.Tim peneliti Unnes yang menginventarisasi data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta dari para pegiat pelestari budaya, menemukan sekitar 20 potensi destinasi wisata.
Untuk kategori sejarah/ heritage, danliving tourism, misalnya, Lasem punya kawasanTiongkok Kecil,Lawang Ombo (Rumah Candu), Omah Ijo, Omah Londo, PerkampunganTiongkok-Hindia, rumah-rumah perajin batik Lasem,Kelenteng Cu AngKiong, Kelenteng Poo An Bio, dan Kelenteng Gie Yong Bio, Pondok Pesantren Kauman, dan Situs Megalitikum Selodiri.
Untuk kategori wisata bahari/ alam, kini diperkenalkan Hutan Mangrove Pasar Banggi, Kapal Majapahit, Embung Lodan Kulon, Sumber Semen, Puncak Argopuro Gunung Gede, Watu Congol, Waduk Panohan, Pantai Dampo Awang, Pantai KarangJ ahe, Pantai Jatisari, Pantai Caruban, Pulau Gede, dan Pantai Binangun.
Daerah ini juga memiliki kekhasan kuliner yang membedakan dari daerah lain. Yang sangat popular misalnya lontong tuyuhan, kepala manyung, mangut, dan sate srepeh. Citarasanya khas, yang semua bertaut dengan filosofi sikap toleran masyarakat Rembang.
Potensi-potensi yang berserak, dan belum semuanya dikembangkan untuk lebih berdaya Tarik itu, sebenarnyatelah memiliki modal kuat secara kultur dan daya saing. Rasanya Pemkab Rembang masih perlu melakukan pemetaan untuk memfasilitasi penyediaan infrastruktur, selain menjaga nyala api toleransi yang merupakan bentuk living tourism atau pariwisata yang hidup, sebagai contoh dan keteladanan interaksisosial yang tiada duanya.
“Lasem telah ada pada abad kedelapan sebagai daerah pertemuan berbagai etnis dari Portugis, Belanda, China, Arab, dan Jawa. Asimilasi dengan masyarakat local menghasilkan keturunan yang membaurkan ras. Proses inilah yang menjadi salah satu sumber penting akulturasi budaya,dan itu dijalankan benar-benar dalam keseharian kami,” kata Gus Zaim.
Kiai muda itu juga menggambarkan, sebenarnya sulit untuk merujuk identitas etnik di Lasem, apakah dia China,Arab, atau Jawa. Latarbelakang inilah yang rupanya merekonstruksi relasisosial yang sangat cair dan mengalir sebagaina dikeseharian di sana. Tak berlebihan bila dikatakan, siapa pun yang ingin belajar tentangtoleransi, datanglah ke Lasem. Masyarakat kota pantai ini adalah teladannya.(Suarabaru.id/ Penulis: AN)