blank

Lindungi Anak Korban Incest

Penyandang Disabilitas

 

Oleh:

Ira Alia Maerani

TINDAK pidana asusila menyeruak di permukaan. Membuat merinding mereka yang membacanya. Sudah sebegitu bejadkah moral para pelaku? Seperti kisah keji ayah beserta  anak laki-lakinya di wilayah Pekon Pangungrejo, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, Lampung menyetubuhi anak perempuannya. Bahkan sang anak perempuan, AG (18 tahun) merupakan seorang anak penyandang disabilitas. AG diperkosa oleh ayah kandungnya, M (45 tahun), kakak kandungnya SA (24 tahun) dan adik kandungnya, YF (15 tahun).

Pemberitaan media mengungkapkan terkuaknya fakta bermula ketika para tetangga melihat gelagat aneh dari keluarga ini pada Rabu, 20 Pebruari 2019. Mereka pun melaporkan ke kepolisian setempat. Dari laporan itu berhasil terungkap perbuatan amoral yang dilakukan oleh ayah dan anak laki-lakinya ini terhadap AG yang merupakan penyandang disabilitas. Sejak tahun 2018 terungkap bahwa AG kerap diperkosa oleh ayah, kakak dan adik kandungnya. Sudah berulang hingga ratusan kali AG menderita diperlakukan tidak senonoh ini. Turut pula disita adalah handphone (HP) pelaku yang banyak berisi muatan video porno di dalamnya. Pelaku, YF, yang  juga adik korban diduga memiliki kelainan seksual karena pernah menyetubuhi hewan.

Peristiwa memilukan ini merugikan dan menyiksa korban yang masih anak dan penyandang disabilitas. Padahal korban juga merupakan anggota keluarga tersebut. Sejatinya korban mendapatkan perlindungan dari anggota keluarga lainnya dan bukan sebaliknya. Perlakuan tindak pidana asusila ini tentu saja membuat trauma luar biasa bagi korban. Lalu adakah perlindungan hukum bagi korban yang masih menyandang status anak? Mengingat ketika terjadinya tindak pidana, korban berusia di bawah 18 tahun. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi korban incest? Adakan sanksi hukum (pidana) bagi pelaku?

 

Incest

Pengertian incest berasal dari kata lain cestus yang berarti murni. Incestus berarti tidak murni. Inses (Incest) diambil dari perkataan Latin incesture dan bloedschande sebagai terjemahan dari istilah Hukum Romawi sanguinis contumelia. Incest adalah hubungan seksual yang terjadi antara dua orang yang memiliki hubungan darah. Secara mudahnya incest adalah hubungan seksual sedarah (www.kompasiana.com). Hubungan seksual ini dapat terjadi antara ayah dengan anak perempuan, ibu dengan anak laki-laki, antar saudara kandung, tante atau paman dengan keponakannya, kakek (nenek) dengan cucunya.

Beberapa negara di dunia sudah memiliki hukum yang cukup tegas terhadap perilaku incest ini. Incest di Negara Amerika Serikat dinyatakan sebagai perilaku ilegal dengan pidana bervariasi di setiap  negara bagian. Salah satu negara bagian yang paling keras pidananya, Massachussets, menerapkan ancaman pidana penjara selama 20 tahun. Sementara negara bagian yang lain, Hawaii, menerapkan ancaman 5 tahun pidana penjara. Sementara di Negara Inggris ancaman pidananya adalah 12 tahun penjara.

Larangan menikah sedarah di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat didukung oleh penelitian-penelitian yang membuktikan adanya resiko melahirkan keturunan cacat. Diawali ditemukannya teori genetika oleh George Mendel di akhir Abad 19. Kemudian dengan tegas Profesor Juergen Kunze, seorang pakar genetika di Rumah Sakit Berlin, Jerman mengatakan, ”Penelitian menunjukkan resiko hubungan antara incest. Kemungkinan lebih dari 50 persen anak akan cacat.” Hubungan seksual sedarah berpotensi tinggi menghasilkan keturunan yang cacat, lemah fisik dan mental bahkan kematian. Hal ini disebabkan terakumulasinya gen-gen pembawa sifat lemah pada keturunannya.

Bagaimana Hukum Islam memandang tentang pernikahan sedarah ini? ALLAH SWT mengatur hukum yang terbaik untuk ummat-Nya jauh sebelum adanya penelitian yang membuktikan bahwa perkawinan sedarah menghasilkan keturunan yang lemah, berpenyakit genetik, cacat mental dan fisik hingga kematian.

ALLAH SWT berfirman di dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ Ayat 23 mengatur diharamkan atas kamu menikahi:

  • “Ibu-ibumu; maksud ibu di awal ayat ini ialah ibu, nenek dan seterusya ke atas
  • Anak-anakmu yang perempuan; maksud dari ayat ini termasuk anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah
  • Saudara-saudaramu yang perempuan;
  • Saudara-saudara ayahmu yang perempuan;
  • Saudara-saudara ibumu yang perempuan;
  • Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
  • Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
  • Ibu-ibumu yang menyusui kamu;
  • Saudara-saudara perempuanmu sesusuan;
  • Ibu-ibu isterimu (mertua);
  • Anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya). Sedang yang dimaksud dengan “anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaannmu”, menurut sebagian besar ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
  • Isteri-isteri anak kandungmu (menantu)
  • Diharamkan mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.”

 

Penyandang Disabilitas

Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, mental, intelektual, dan/atau motorik dalam jangka waktu lama. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1 Angka 1 UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Penyandang disabilitas dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan sehingga perlu dilindungi berdasarkan kesamaan hak.

Pasal 5 UU No. 8 Tahun 2016 mengatur 22 hak bagi penyandang disabilitas. Dimulai dari hak hidup; bebas dari stigma; privasi; pelayanan publik termasuk hak bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan dan ekspolitasi. Perempuan penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan lebih dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan dan eksploitasi seksual.

Ketentuan pidana terhadap setiap orang yang menyebabkan bertambah, berkurang atau hilangnya hak penyandang disabilitas diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 144 UU No. 8 Tahun 2016.

Sementara orang yang bertindak menghalang-halangi penyandang disabilitas mendapatkan haknya diancam dengan pidana penjara maksimal 2 tahun dan denda maksimal Rp 200 juta (Pasal 145 UU No. 8 Tahun 2016).

 

Perlindungan Hukum 

Perlindungan hukum bagi korban pelecehan seksual anak, yakni berumur di bawah 18 tahun, diatur di dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 juncto UU No. 35 Tahun 2014 juncto UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 81 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014 mengatur setiap orang yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain, maka ancaman pidananya adalah minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 5 Miliar.

Adapun Pasal 81 Ayat (3) UU No. 35 Tahun 2014 mengatur apabila kekerasan seksual terhadap anak untuk melakukan persetubuhan dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga kependidikan maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 81 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014.

Perlindungan terhadap penyandang disabilitas dari tindakan pelecehan dan segala tindakan diskriminatif, dari penelantaran dan eksploitasi serta pelanggaran hak asasi manusia diatur dalam Pasal 3 Huruf d UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Ketentuan tentang perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas secara umum juga bisa diperoleh dari UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. (Dr. Ira Alia Maerani, M.H., dosen Fakultas Hukum UNISSULA)

Suarabaru.id