blank
Ketua dan Sekretaris DPRD Wonogiri, Setyo Sukarno dan Gatot Siswoyo (kanan), mendapatkan penjelasan tentang sejarah di situs rumah Balla Lompoa yang merupakan istana Kerajaan Gowa.(suarabaru.id/bp)

GOWA -Nama Sultan Hasanuddin diabadikan menjadi nama Bandara Internasional di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Raja Gowa ke 16 ini, oleh pemerintah RI dianugerahi gelar sebagai pahlawan nasional Indonesia melalui Surat Keputusan (SK) Presiden Nomor: 087/TK/1973, Tanggal 6 Nopember 1973.

Memiliki nama kecil Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape, dari Qadi Islam Kesultanan Gowa, Syeikh Sayyid Jalaludin bin Ahmad Bafaqih Al-Aidid. Lahir di Gowa, Sulsel, Tanggal 12 Januari 1631 dan wafat 12 Juni 1670 selagi masih berusia 39 tahun. Dia dikenal seorang mursyid tarekat, yang setelah wafat meninggal diberi gelar Tumenanga Ri Balla Pangkana.

Karena keberaniannya berjuang melawan penjajah, ia dijuluki De Haantjes van Het Osten oleh Belanda, yang artinya Ayam Jantan dari Timur. Dia ditaklukkan oleh pasukan kumpeni Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pimpinan Gubernur Belanda Cornelis Speelman bersama sekutunya. ”Belanda bersekutu dengan para raja yang ada di Makassar dan sekitarnya, untuk menaklukkan Sultan Hasanudin, melalui politik adu domba atau politik pecah belah (devide et impera),” ujar Pemandu Wisata, Dhario, dari Nabila Tour Cabang Makassar.

Sultan Hasanudin, adalah putera Raja Gowa ke 15, I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Muhammad Said, dimakamkan di Katangka, Kabupaten Gowa, memerintah mulai Tahun 1653 sampai 1669 (16 tahun). Kerajaan Gowa, merupakan kerajaan besar di Wilayah Timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.

Nama Gowa kini dipertahankan menjadi nama salah satu dari 24 kabupaten/kota di Sulsel, dengan ibukota di Sungguminasa. Pimpinan DPRD Wonogiri terdiri atas Ketua Setyo Sukarno bersama Wakil Ketua Basriyono, Sunarmin dan Dekik Suhardono, Tanggal 16-19 Juni 2019, melakukan studi banding ke DRD Kabupaten Gowa dan DPRD Kota Makassar. Ikut serta, Sekretaris Dewan Gatot Siswoyo, Kabid Persidangan Sutopo, Kasubag Humas Amin Nugroho, Kasubag Risalah Takari, Kasubag TU Hati Mulyani beserta staf dan awak media peliput DPRD Wonogiri.

Oleh pemandu wisata Dhario dan Pimpinan Nabila Tour, Antok, rombongan DPRD Wonogiri diajak singgah ke Museum Balla Lompoa, yakni istana Kerajaan Gowa yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-31, I Mangngi-mangngi Daeng Matutu, pada Tahun 1936. Berbentuk rumah panggung berukuran besar, berarsitektur rumah khas orang Bugis. Seluruh bangunan terbuat dari kayu ulin atau kayu besi, berfungsi sebagai tempat menyimpan koleksi benda-benda Kerajaan Gowa. Dipajang pula silsilah keluarga Kerajaan Gowa mulai dari Raja Gowa I, Tomanurunga, pada abad ke-13, hingga Raja Gowa terakhir Sultan Moch Abdulkadir Aididdin A Idjo Karaeng Lalongan (1947-1957).

Monumen historis Kerajaan Gowa yang juga menjadi situs sejarah dan destinasi wisata, adalah Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) yang kemudian dirubah namanya secara sepihak menjadi Benteng Fort Rotterdam oleh Gubernur VOC Belanda Cornelis Speelman. Benteng ini dibangun pada Tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9, I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi’ kallonna, dan disempurnakan oleh Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin, memakai batu padas yang diambil dari Pegunungan Karst di daerah Maros.

”Prototipenya berbentuk seperti seekor Penyu (Kura-kura) yang hendak merangkak turun ke lautan,” jelas Dhario. Penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Secara filosofi, Kerajaan Gowa berjaya di daratan maupun di lautan. Di dalam benteng ada sel tahanan Pangeran Diponegoro. Bangunan yang memanjang di sisi samping kanan dan kiri, digunakan sebagai Museum La Galigo. ”Agar paham sejarahnya, silahkan beli dua buku ini,” tawar Kakek Tajou (70) sambil menyodorkan buku fotocopian kepada para pelancong yang memasuki gerbang Benteng Fort Rotterdam.(suarabaru.id/bp)