Oleh Widiyartono R.
BULAN Puasa, adalah bulan yang ditunggu-tunggu anak sekolah pada zaman itu. Setidaknya anak-anak di Wonosobo kala itu, tahun 70-an. Pada saat bulan puasa, sekolah libur 40 hari. Benar-benar sebuah kebahagiaan karena anak-anak terbebas dari beban belajar, piket membersihkan kelas, dimarahi guru, dan sebagainya.
Datangnya bulan puasa, adalah hari-hari penuh ceria dan bebas bermain. Maklum, waktu itu masih SD, teman-teman pun banyak yang tidak puasa secara penuh. Puasa mbedhug (sampai tengah hari saat bedug zuhur berbunyi) pun cukup. Tetapi mereka juga tetap berusaha untuk menjalankan ibadah yang diwajibkan oleh agama itu.
Lalu apa yang dikerjakan anak-anak dalam masa libur panjang itu. Bermain? Ya memang kebanyakan bermain. Tetapi apa mainannya. Ya, macam-macamlah. Aneka bentuk kreativitas pun muncul. Semua mainan dan tempat tujuan bermain diciptakan sendiri. (Kupikir hebat benar ya anak-anak masa itu, setidaknya masa generasiku).
Kantor PLN di Jalan Honggoderpo khususnya sebelah kiri dibatasi tanaman bambu sebagai pagar hidup. Bambu-bambu kecil itu menjadi sasaran anak-anak sebagai bahan mainan. Dengan membawa pisau dari rumah, lima-enam orang mendatangi tempat itu dan memotong batang bambu yang berukuran panjang kita-kira 70 cm.
Bambu-bambu tersebut kemudian dipotong pas ruasnya, sehingga menjadi semacam pipa sepanjang 20-an cm. Kemudian dicari belahan bambu dari sisa-sisa bambu yang ditemukan, dibentuk sedemikian rupa untuk bisa dimasukkan ke dalam ”pipa”.
Ya, kami membuat mainan ”bedhil-bedhilan”. Pipa bambu itu disumpal dengan keras koran yang dibasahi, kemudian didorong pakai belahan bambu sebagai sogok-nya. Ketika kertas basah sudah didorong sampai ke ujung pipa, kemudian dimasukkan kertas basah lainnya, dan kembali didorong.
Udara yang tertekan di dalam pipa mendorong kertas yang diujung, dan kemudian muncul letusan. ”Thar!”. Ya, senapan kami sukses berfungsi. Dan, kami pun main tembak-tembakan di antara teritisan rumah di Kampung Ngepelan. Tetapi kadang-kadang kami main juga di kuburan Honggoderpo, karena di sana ada pohon klampok. Bunga klampok yang bentuknya seperti kembang jambu air itu bisa kami jadikan peluru pengganti kertas basah. Bunyinya cukup mantap pula. Thar…. thor….. Ramai. Dan, anak-anak yang kena tembakan meringis, karena sakit pula di kulit.
Main di Serayu
Selain main bedhil-bedhilan, tentu saja masih banyak mainan yang lain. Dan, ini cukup kreatif karena hasilnya ada nilai seninya. Kami berjalan menyusuri Jalan Jolontoro, sampai Mlipak terus lagi, hingga sampai ke Kali Serayu. Nah, pinggiran kali yang berpasir itu mengasyikkan juga buat mainan.
Pasir digali (hanya menggunakan tangan), kemudian disusun dan dibentuk bangunan seperti benteng atau apa pun. Meski tidak seluas pasir pantai, tetapi kami anak-anak gunung pun punya kreativitas serupa itu. Sementara ada yang bermain pasir, ada juga anak-anak yang mencari ranting-ranting pohon perdu.
Lalu buat apa? Ya, dengan alat pisau kecil (biasanya pisau dapur yang biasa dipakai ibu memasak), kami mematahkan ranting-ranting pohonan perdu. Kami cari yang carangnya banyak. Setelah itu, daunna dibersihkan dan kulit kayunya dikerok.
Ranting-ranting ini tidak langsung dimanfaatkan hari itu juga, tetapi dijemur dulu biar kering. Nah, seteelah kering, kami mencari plastik bekas. Ya plastik bekas ember yang pecah, wadah deterjen B-29 (wah merk ini dulu sangat terkenal, merk sabun colek, dan wadahnya plastik yang bentuknya seperti kaleng cukup tebal, dan ternyata sekarang masih bisa ditemukan di supermarket). Kadang juga kami manfaatkan plastik sikat gigi bekas.
Nah, acara kreatif dimulai. Ranting kering yang bercabang-cabang itu dipakukan pada selembar papan yang ukurannya disesuaikan. Tujuannya agar ranting itu bisa berdiri. Kemudian, plastik yang disiapkan dibakar. Nah, lelehan plastik yang terbakar itu kemudian diteteskan pada kayu ranting kering itu, sehingga membentuk hiasan di seputar kayu.
Yakinlah, bentuknya menjadi sangat artistik. Setelah itu, ranting-ranting itu ditempeli dengan daun-daun yang dibuat dari kertas atau plastik, sehingga membentuk sebuah pohon rindang. Bisa ditempeli bentuk macam buah atau bunga.
Nah, karya semacam ini bisa mendapatkan nilai tujuh atau delapan untuk mata pelajaran prakarya. Tetapi untuk ditaruh di atas bufet ruang tamu pun cukup bangus. Nah!
Tentu masih ada kegiatan lainnya yang pasti mengasyikkan. Setiap setengah sepuluh pagi, anak-anak sudah siap di pinggiran rel. Mereka menunggu kereta api lewat, dan sebelumnya sudah memasang paku-paku berbagai ukuran di atas rel. Paku-paku itu nanti akan gepeng terlintas roda kereta api, dan bisa kami buat pisau. Kami bahagia bukan main melihat paku-paku itu seperti terlempar-lempar saat ada kereta lewat. Dan, dipastikan semuanya terjatuh.
Tetapi, oiiiiittttt. Jangan keburu diambil. Petugas rem KA pasti akan mengacung-acungkan tinjunya melihat kenakalan kami. Namun bukan itu masalahnya. Kalau langsung diambil begitu KA lewat, pastilah paku-palu besi itu masih panas. Baru setelah agak dingin kami ambil, lalu kami gosok dengan batu-batu yang ada di rel.
Tetapi saya yakin seyakin-yakinnya, istilah ”membuat pisau dari paku” dengan cara melindaskan pada roda KA hanyalah impian. Tidak pernah ada yang hasilnya berupa pisau yang bisa digunakan untuk ibu mengiris sayuran, misalnya. Lha pakunya saja paku-paku kecil (reng atau usuk). Tetapi, membuat pisau memang bukan tujuan, mencari kesenangan itu yang utama.
Ya, namanya saja kan puasa. Meski Wonosobo waktu itu belum sepanas sekarang, tetapi bermain-main di bawah terik matahari pastilah membuat gerah, dan ini bisa mengganggu puasa. Maka, kami pun kemudian sepakat menuju Tempurung (mata air di daerah Jaraksari) atau Caranggantung, aliran Sungai Semagung di dekat Tempurung.
Apalagi kalau tidak main air alias bermandi-mandian. Jelas, dengan mandi akan mengurangi gerah. Tetapi tentu saja ada di antara kami yang mencuri-curi untuk seakan-akan tidak sengaja ada air masuk ke mulut dan dibiarkan lewat kerongkonan. Ini modus menyiasati haus di bulan puasa model anak-anak. Mereka pun tak berpikir bahwa itu membatalkan puasa. Hahahahahahahahaha……
Nonton ‘Dhung’ di Masjid Al Manshur
Ketika sore tiba, kami sudah bersiap kembali untuk nonton ”dhung” di Masjid Kauman. Bayangkan, cukup jauh juga kan dari Tangsi (Jalan Bhayangkara) ke Masjid Kauman. Anak-anak sekarang mana mau jalan kaki sejauh itu. Sudah ada motor, bahkan angkutan umum pun tersedia. Ngapain capek-capek.
Tetapi, itulah romantika anak-anak 70-an. Sudah main pasir di Serayu, keceh di Caranggantung, maih jalan kaki pula ke Kauman. Hanya untuk melihat mercon besar disulut sebagai penanda buka puasa. Di keramaian yang luar biasa itu, kami semua bahagia sekali begitu mendengar suara menggelegar yang nyaris seluruh kota mendengarnya.
Kebahagiaannya bukan karena saat buka puasa tiba, tetapi karena melihat mercon itu meledak dan telinga seperti pekak mendengar ledakannya. Kalau soal urusan berbuka sih, sebagian besar dari kami sudah mokah sejak siang. Namanya saja ”pasa mbedhug”.
Selamat berbuka dan selamat menjalani puasa hingga hari kemenangan tiba, pada 1 Syawal mendatang. Semoga kemenangan ada di dalam diri kita semua. * * *
Widiyartono R, wartawan tua kelahiran Wonosobo, kini redaktur SUARABARU.ID