Oleh: Dr. Muh Khamdan
Tradisi Baratan di Jepara, yang kini dikenal sebagai festival lampion atau impes pada malam Nishfu Sya’ban, menyimpan jejak sejarah mendalam tentang wafatnya Sultan Hadlirin. Peristiwa tragedi ini tidak hanya menjadi bagian dari sejarah suksesi Kesultanan Demak, tetapi juga membentuk historiografi nama-nama daerah di sekitar Kudus dan Jepara.
Sultan Hadlirin, suami Ratu Kalinyamat yang juga menantu dari Sultan Trenggono, merupakan figur penting dalam sejarah Jepara. Ia gugur dalam intrik politik Kesultanan Demak yang melibatkan Sunan Prawoto dan Arya Penangsang.
Setelah Sunan Prawoto terbunuh oleh utusan Arya Penangsang, Sultan Hadlirin berusaha mencari keadilan atas meninggalnya iparnya itu dengan mendatangi Sunan Kudus. Namun tragisnya, ia justru dibunuh oleh Arya Penangsang, yang digambarkan memiliki niat kuat atas takhta Demak karena merasa ayahnya yang bernama Raden Kikin atau pangeran Sekar Seda Lepen menjadi korban konspirasi perebutan tahta.
Kematian Sultan Hadlirin meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat Jepara. Istrinya, Ratu Kalinyamat, mengikrarkan sumpah “Topo Wudho”, sebuah bentuk tapa telanjang sebagai simbol tekad dan kesedihan mendalam atas kematian suaminya. Sumpah ini menjadi penanda perjuangan Ratu Kalinyamat dalam membalas kematian suaminya dan mempertahankan kekuasaan Jepara.
Historiografi dan Jejak Toponimi di Kudus-Jepara
Tragedi wafatnya Sultan Hadlirin tidak hanya mengukir kisah sejarah, tetapi juga membentuk toponimi daerah sekitar Kudus dan Jepara. Beberapa nama wilayah yang diyakini berkaitan dengan peristiwa ini antara lain Jember sebagai tempat Sultan Hadlirin mengalami luka parah sebelum wafat.
Prambatan yang berasal dari kata “rambatan” atau penyebaran berita duka dan berjalan tertatih tatih sembari merambat-rambat pada pepohonan. Kaliwungu, yang menunjukkan perubahan air sungai yang bercampur pada menetesnya banyak darah. Klisat, merujuk pada tempat Sultan Hadlirin beristirahat di sungai kering atau Kali Asat.
Demikian juga kawasan penuh dengan bambu yang dalam bahasa Jawa disebut dengan Pring, akhirnya mengenalkan dua nama, yaitu Papringan dan Pringtulis. Kawasan yang kemudian dimanfaatkan untuk memudahkan pemberian kabar duka melalui penulisan pada sebilah bambu.
Kondisi yang sudah sangat kepayahan menyebabkan perjalanan menjadi sempoyongan atau moyang moyong, sehingga daerah ini disebut sebagai Mayong. Sampai pada kawasan pemberhentian yang menimbulkan aroma wangi atas wafatnya Sultan Hadlirin, yaitu Purwogondo. Selain menjadi bagian dari sejarah, wilayah-wilayah ini masih menyimpan jejak budaya yang terwariskan dari generasi ke generasi.
Untuk menyongsong jasad pemimpinnya, masyarakat sepanjang Pringtulis hingga Kalinyamatan menyalakan obor dan oncor sebagai bentuk penghormatan. Seiring waktu, tradisi ini berkembang menjadi Baratan, dengan penggunaan lampion atau impes sebagai simbol penerangan dan harapan.
Istilah Baratan sendiri dianggap berasal dari bahasa Arab baraatun minallah, sebagaimana dalam ayat pertama Surat At-Taubah. Surat ini dikenal sebagai surat perang atau pelepasan dari perjanjian damai, yang sejalan dengan semangat Ratu Kalinyamat dalam membalas kematian suaminya.
Dalam perayaan Baratan, hidangan khas yang selalu disajikan adalah Puli, yang terbuat dari beras yang dicampur bleng. Istilah puli diyakini berasal dari frasa Arab Afwu Li, yang berarti “ampunilah aku”. Ini mencerminkan harapan masyarakat Jepara untuk mendapatkan keridhaan dan ampunan dari Allah pada malam Nishfu Sya’ban, sekaligus menjadi bentuk refleksi atas tragedi yang pernah menimpa leluhur mereka.
Baratan yang awalnya merupakan peringatan duka kini telah berkembang menjadi destinasi wisata budaya yang menarik banyak pengunjung. Karnaval lampion, ritual doa, serta kuliner khas yang disajikan menjadikan Baratan tidak sekadar perayaan, tetapi juga media edukasi sejarah yang menghidupkan kembali kisah Sultan Hadlirin dan perjuangan Ratu Kalinyamat.
Tradisi ini juga mengajarkan nilai kultural yang mendalam. Dalam masyarakat Jepara, berkembang kepercayaan bahwa pernikahan antara orang Jepara dan Kudus sebaiknya dihindari. Ini merupakan bentuk simbolis dari trauma sejarah akibat tragedi Sultan Hadlirin. Meski di era modern pandangan ini lebih fleksibel, nilai historisnya tetap menjadi pengingat bahwa persatuan dan kesetiaan dalam sejarah harus dijaga.
Dengan demikian, tradisi Baratan bukan hanya sekadar festival, melainkan sebuah warisan sejarah yang mencerminkan dinamika politik, perjuangan, serta keteguhan masyarakat Jepara dalam mempertahankan jati diri mereka.
Muh Khamdan, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Jakarta; LTNNU MWCNU Nalumsari Jepara