blank
Sedulur Sikep Samin Klopoduwur, Kabupaten Blora saat menerima kunjungan dari Semen Gresik. Foto: Humas SG

BLORA, sebuah wilayah di Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Timur, dengan pembatas Sungai Bengawan Solo. Blora juga punya wilayah yang merupakan ladang minyak yaitu Cepu, juga dikenal sebagai kawasan hutan dengan jati terbaiknya di Randublatung.

Tetapi ada lagi yang menarik di Blora, yaitu keberadaan Suku Samin atau di sebut Wong Sikep dan Sedulur Sikep. Komunitas ini adalah kelompok masyarakat penganut ajaran Samin yang persebarannya dimulai di wilayah Kabupaten Blora, Jawa Tengah sampai ke Pati, Kudus, dan Bojonegoro.

blank
Ki Samin Surosentiko, pemimpin Sedulur Sikep yang melawan penjajah Belanda. Foto: Google

Masyarakat Samin, Wong Sikep atau Sedulur Sikep disukai karena memiliki arti orang yang baik dan jujur.

Masyarakat ini adalah keturunan para pengikut Samin Surosentiko yang mengajarkan Sedulur Sikep, yang mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain di luar kekerasan.

Bentuk yang dilakukan adalah menolak membayar pajak, menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial.

blank
Gubernur Jawa Tengah, H. Ganjar Pranowo, saat masih menjabat, memimpin rapat koordinasi percepatan penanggulangan Kemiskinan di Pendopo Sedulur Sikep, Sambongrejo, Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora. Foto: Kudnadi Saputro Blora

Masyarakat ini acap memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajahan Jepang karena sikap itu, sikap yang hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh kelompok di luarnya.

Masyarakat Samin sendiri juga mengisolasi diri hingga baru pada tahun 70-an, mereka baru tahu Indonesia telah merdeka. Kelompok Samin ini tersebar sampai Jawa Tengah.

Namun konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora dan Bojonegoro yang masing-masing bermukim di perbatasan kedua wilayah.

Orang luar Samin sering menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu, tidak suka mencuri, menolak membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon terutama di kalangan masyarakat Bojonegoro.

Tatanan kehidupan dan perilaku yang unik dari masyarakat Samin tidak bisa dilepaskan dari sikap masyarakat Samin yang dulu menentang Pemerintah Kolonial Belanda.

Wujud dari perlawanan ini adalah dengan cara membandel tidak mau menyetor padi, menentang pamong desa, dan tidak mau membayar pajak.

Sikap pertentangan ini yang kemudian menjadi kebiasaan sikap dan perilaku dari masyarakat Samin yang tidak selalu mengikuti adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat di sekitar pada umumnya.

Sehingga masyarakat Samin memiliki perilaku, tatanan, dan adat-istiadat sendiri.

Saminisme adalah ajaran sedulur samin yang berkembang di suku ini. Salah satu ajaran samin adalah sedulur sikep.

Kata sedulur memiliki makna “saudara” dan sikep adalah “senjata”. Maknanya ajaran ini memiliki pengutamaan perlawanan  tanpa senjata.

Asal Usul Suku Samin

Nama Samin adalah nama yang berasal dari tokoh masyarakat Samin bernama Samin Surosentiko. Samin Surosentiko lahir di Desa Ploso Kediren, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora dengan nama asli Raden Kohar.

Ayah Raden Kohar adalah Raden Surowijaya yang bekerja sebagai bromocorah untuk kepentingan orang-orang desa yang miskin dari daerah Bojonegoro, Jawa Timur.

Nama Raden Kohar berubah menjadi nama Samin dan kemudian menjadi Samin Surosentiko yang oleh anak didiknya disebut sebagai Ki (Kiai) Surosentiko.

Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Blora, pada tahun 1890. Dalam waktu singkat, banyak orang tertarik menjadi pengikut dari Samin Surosentiko.

Kala itu, oleh Pemerintah Belanda, ajaran Samin hanya dianggap sebagai ajaran kebatinan atau agama baru yang sepi dan hanya remeh-temeh belaka.

Tradisi Samin atau Sedulur Sikep masih berjalan sampai sekarang. Tetapi masyarakat Samin sekarang sudah bukan lagi seperti yang dulu. Masyarakat Samin sekarang bekerja sama dengan pemerintah, tidak seperti zaman penjajahan dulu.

Hayatun Nufus Kamilah-mg