Oleh R. Widiyartono
SAMPAI saat ini lagi viral, ada beberapa lelaki yang menyatakan diri sebagai wartawan, memamerkan amplop berisi selembar uang sepuluh ribu rupiah. Salah satu di antara lelaki itu menyatakan, kecewa terhadap Kepala desa Kronjo Kabupaten Tangerang, karena telah merendahkan wartawan yang memberi amplop berisi uang “hanya” sepuluh ribu rupiah sebagai ucapan terima kasih usai meliput acara Musrenbangdes di Desa Kronjo.
Video itu pun viral dan menyebar di media sosial termasuk ke grup-grup whatsapp. Video saat mereka berdemo, seorang lelaki yang diduga menjadi kordinator aksi menyatakan merasa terpukul, gara-gara teman mereka yang hanya mendapat amplop ucapan terima kasih berisi uang sepuluh ribu rupiah.
Gara-gara “merasa terpukul” itulah kemudian mereka menggelar aksi solidaritas. Menarik juga orasinya, dengan diksi yang menyayat hati.
“Kami merasa teriris batin-batin kami apa yang telah dilakukan oleh oknum Kepala Desa Kronjo dengan nilai Rp10 ribu karya jurnalistik yang memang dilindungi oleh UU No 40 Tahun 1999,” kata pria tersebut.
Kemudian petikan orasi lainnya: “Sahabatku semua, para jurnalistik, hari ini kita tidak akan pernah berhenti berjuang untuk mengadakan aksi solidaritas terhadap nasib rekan-rekan kami, kawan-kawan kami yang memang kami bukanlah hewan, kami bukannya orang yang tidak bermanfaat bagi negara dan bangsa, kami berfungsi kepada negara dan bangsa, khususnya untuk pembangunan,” kata dia.
Sebelumnya, sejumlah orang yang mengaku wartawan, menunjukkan amplop berisi uang sepuluh ribu yang diberikan olah aparat Desa Kronjo. Mereka menyatakan kecewa dan merasa dilecehkan karena hanya diberi uang Rp 10 ribu saat menghadiri acara Musrenbangdes.
Saya Terpukul
Sebagai seorang yang sudah 38 tahun menjalani pekerjaan sebagai wartawan, saya sedih, saya terpukul, saya marah atas kejadian ini. Tentu saja “keterpukulan” saya bukan karena ada orang yang mengaku wartawan hanya mendapat amplop sepuluh ribu rupiah. Saya terpukul karena ada orang yang mengaku wartawan, melakukan hal serupa itu.
Terlebih dia menyebut-nyebut juga UU Nomor 40 Tahun 1999. Sayangnya dalam konteks kalimatnya adalah: Kami merasa teriris batin-batin kami apa yang telah dilakukan oleh oknum Kepala Desa Kronjo dengan nilai Rp10 ribu karya jurnalistik yang memang dilindungi oleh UU No 40 Tahun 1999.
Apakah lelaki ini memahami Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers? Juga pengakuannya sebagai wartawan, apakah benar-benar dia wartawan? Apakah dia benar-benar wartawan yang menjalankan tugasnya sesuai dengan UU No 40 Tahun 1999. Apakah dia juga mengenal atau setidaknya pernah membaca Kode Etik Jurnalistik? Banyak hal yang memang saya pertanyakan.
Saya juga mempertanyakan kemampuannya sebagai wartawan. Modal wartawan itu yang utama adalah bahasa. Dalam kutipan ini kitab isa melihat, bagaimana dia tidak bisa membedakan antara “jurnalis” dan “jurnalistik”.
“Sahabatku semua, para jurnalistik, hari ini kita tidak akan pernah berhenti berjuang untuk mengadakan aksi solidaritas terhadap nasib rekan-rekan kami….”
Kades dan Kepala Sekolah
Sekitar seminggu yang lalu, seorang kepala SMP di sebuah kabupaten di Jateng, teman saya, menelepon karena didatangi orang yang mengaku sebagai wartawan ditemani orang lain yang mengaku dari LSM.
Ini sudah yang kesekian kali. Mereka datang menanyakan berbagai hal yang terkait dengan penggunaan dana BOS. Kesannya memang mencari-cari, lalu buntutnya minta “uang transport”. Karena tidak mau melayani terlalu lama, maka teman saya memberinya amplop berisi uang Rp 100 ribu.
Saya memahami, bahwa teman saya merasa tertekan, terintimidasi, dan terancam atas kehadiran mereka. Menurutnya, semua administrasi beres, dan pelaporan selama ini tidak ada masalah. Tetapi, kedatangan dua orang ini memang terkesan mencari-cari. Maka agara segera selesai, dia kasih uang, dan itu diambil dari dompet pribadi sang kepala sekolah.
Kemudian, dalam suatu kesempatan, kami selaku Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi Jateng, diundang untuk berbicara di depan ratusan kepala desa di Blora, tentang bagaimana berhubungan dengan wartawan. Yang dikeluhkan para kades adalah, kedatangan orang mengaku wartawan dan LSM, yang mengintimidasi, dan akhirnya Kades kemudian memberikan sejumlah uang.
Pemberian ini bukan untuk menyogok atau menyuap orang yang ngaku wartawan dan LSM ini. Tetapi mereka enggan melayani, karean buntutnya sama “minta uang”.
Jadi, kepala sekolah dan kades memang menjadi sasaran manis bagi mereka, karena keduanya mengelola uang bantuan berupa BOS dan ADD. Si wartawan dan LSM sering melakukan hal aneh, misalnya minta diperlihatkan bukti kuitansi pembayaran untuk membuktikan bahwa semuanya beres.
Saya sering mengingatkan kepada mereka, para kepala sekolah atau kades, untuk tidak melayani para oknum ini, apalagi bila sudah masuk ke hal yang aneh-aneh. Bahkan secara ekstrem saya sampaikan, “Kasih saja duit lima ribu atau sepuluh ribu, karena mereka tak lebih dari seorang pengemis!”
Nah, ternyata apa yang saya sampaikan itu, ternyata dilakukan oleh seorang kades di Tangerang. Hanya bedanya, di Tangerang disebut “uang terima kasih” atas acara Musrenbangdes. Cuma pertanyaannya, apakah mereka ini diundang dalam acara tersebut? Kemudian berapa banyak yang datang, jangan-jangan berombongan, dan dalam anggaran memang tidak tersedia uang “ucapan terima kasih” untuk wartawan.
Tetapi, bagaimana pun, sangat tidak pantas kalau kemudian mereka menggugat karena diberi uang sepuluh ribu rupiah. Karena saya juga sering menemukan, dalam suatu acara datang banyak sekali yang “ngaku wartawan” padahal tidak diundang. Kemudian panitia bingung, akhirnya mereka mengada-adakan untuk nyangoni.
Karena memang tak ada uang, ya sepuluh ribu itulah yang diberikan. Karena kalau tidak diberi, mereka juga tidak pulang-pulang, dan hanya ngglibet (selalu mengikuti) panitia, dan ini tentu membuat jengah dan tidak nyaman.
Wartawan Profesional
Apakah ukuran profesionalisme wartawan? Apakah bisa diukur dengan uang sepuluh ribu atau sepuluh juta atau berapa pun dalam bentuk rupiah? Kalau ukurannya ini, tentunya saja sangat menyakitkan, dan menjadikan wartawan beneran terpukul.