Ukuran profesionalisme wartawan itu ada pada kemampuan teknisnya yang berkaitan dengan tugasnya sebagai wartawan. Dari mencari berita sampai menuliskan dan menyajikannya di media mereka masing-masing secara baik. Tetapi itu saja tidak cukup, kalau wartawan bekerja tanpa etika.
Saya sering menyampaikan bahwa “Kode Etik Jurnalistik” itu sebenarnya tidak diperlukan, kalau semua wartawan bekerja dengan hatinya. Tetapi karena wartawan juga manusia, sering mengingkari nuraninya, maka kemudian disusunlah kode etik sebagai pegangan agar mereka tidak melakukan pelanggaran.
Dalam kasus ini, saya sangat mempertanyakan orang yang mengaku mewakili wartawan yang berorasi dalam protes “wartawan sepuluh ribu” itu. Apakah dia benar-benar wartawan, sesuai dengan UU Nomor 40 Tahun 1999? Bekerja di Perusahaan yang sesuai dengan UU tersebut. Artinya perusahaannya berbadan hukum yang sesuai dengan UU yaitu sesuai dengan Peraturan Dewan Pers berbentuk PT, Yayasan, atau koperasi. Kemudian pengelolanya, pemimpin redaksinya apakah juga sudah dinyatakan kompeten tingkat Utama melakui Uji Kompetensi Wartawan (UKW), dan juga apakah para wartawannya sudah mengikuti UKW dan dinyatakan kompeten.
Sebagai seorang penguji dalam UKW, saya menyangsikan kemampuan orang yang berorasi dengan merasa terpukul itu. Saya menduga, dia belum mengikuti UKW, dan kalau pun mengikuti besar kemungkinan tidak lulus, karena tidak punya kemampuan teknis yang memadai. Sederhana saja, tidak bisa membedakan “jurnalistik” dengan “jurnalis” menjadi indikasi bahwa wartawan ini tidak punya kompetensi yang memadai. Saya meyakini, orang ini tidak bisa hanya untuk sekadar menulis berita. Dan, dipastikan tidak bakalan lulus dalam UKW.
Jangan Takut pada Wartawan
Saya menyarankan kepada siapa pun tidak perlu takut kepada wartawan. Wartawan bertugas untuk mendapatkan berita untuk kemudian disampaikan pada masyarakat melalui media. Tetapi wartawan dilandasi etika dalam menjalankan tugasnya, maka wartawan beneran tidak akan melakukan hal-hal misalnya menekan untuk kemudian mendapatkan uang atau suap.
Jangan terbiasa menghargai wartawan dengan uang, meskipun para wartawan sadar benar, uang tetap mereka butuhkan. Bila ada wartawan yang mendatangi Anda, kemudian mulai aneh-aneh, dan buntutnya minta uang, tidak perlu dilayani.
Kalau mereka memaksa, ya kasih saja sepuluh ribu rupiah, karena nilai mereka ya sebesar itu, tak lebih dari seorang pengemis. Wartawan beneran bukan pengemis, dan tidak ada undang-undang atau peraturan yang menetapkan bila didatangi wartawan harus memberikan uang transpor.
Bantulah kami para wartawan, agar kami tidak makin terpukul atas Tindakan orang yang ngaku wartawan tetapi mentalnya pengemis atau bahkan pemeras.
Widiyartono, wartawan suarabaru.id, Pengurus PWI Provinsi Jateng, penguji Uji Kompetensi Wartawan PWI