blank
Ilustrasi. Sumber foto:

Oleh: Amir Machmud NS

blankKESAN apakah yang merumun pikiran Anda, saat mendapati berita-berita media yang secara verbal beraksen mengacak-acak sensitivitas sekat primordi?

Coba simaklah berita gencar tentang para pesohor yang pindah agama. Tentang pengalaman rohani yang membuat dia memutuskan berganti keyakinan.

Atau tentang pengalaman hidup setelah dia memeluk agama yang baru. Juga model-model pemberitaan yang“memverbalisasi” positioning spiritual dengan mendaftar nama-nama figur publik yang pindah keyakinan.

Kesan apa pulakah yang kita rasakan ketika membaca aneka pernyataan netizen terkait keyakinan spiritualitas seseorang dalam kanal-kanal komentar di sejumlah portal berita?

Makin mudah kita dapati diksi-diksi ini: dari pujian, dukungan, hujatan, mencaci maki agama tertentu, penyebutan satu kelompok dengan stereotipe predikat, stigmatisasi, hingga berbagai ekspresi yang pantas membuat “miris”.

Pertanyaannya, mengapa tren mengobok-obok keyakinan lewat konten-konten media itu dibiarkan tumbuh, menyubur, dan seolah-olah tidak tersentuh oleh standar produk jurnalistik dari sisi kode etik dan aturan hukum demi merawat kehidupan yang beragam, harmoni, dan damai?

Apakah tren ini adalah kecenderungan biasa dalam aneka cara men-setting upaya-upaya pemicu jumlah pengunjung media (viewers)?

Apakah beratas nama kebebasan berpendapat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM)? Atau inilah konsekuensi tren mediatika yang hanya berlandaskan ideologi viralitas?

Lalu akan menjadi semakin dewasakah kita dengan setiap saat menyerap usikan sensitif pemberitaan tentang Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA)? Atau ini adalah bentuk liberalisasi berpendapat yang pada satu sisi — disadari atau tidak disadari — berkonsekuensi memperkuat dan mempertajam politik identitas? Apalagi di tengah kondisi politik nasional menuju kontestasi besar 2024?

Tak Ada Ruang SARA
Unsur-unsur SARA tersubstansi ketat sebagai kondisi yang harus dijaga dalam spirit penjabaran nilai-nilai keindonesiaan, termasuk dalam praktik berjurnalistik dan bermedia.

Realitas keberagaman sebagai wujud kebinekaan jelas tidak memberi ruang kepada sekecil apa pun percikan api pemantik SARA.

Indonesia telah menunjukkan ekspresi sunnatullah yang luar biasa tentang perbedaan yang disatukan oleh semangat berbangsa dan bernegara, yang ditandai oleh Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Hanya, peristiwa politik kekuasaan dan gesekan sosiallah yang dalam beberapa momen meletupkan kepekaan respons masyarakat, bahkan berpotensi menimbulkan huru-hara.

Di lingkup praktik bermedia, Kode Etik Jurnalistik mengatur ketat moralitas yang menjaga agar SARA tidak diberi ruang hidup dan berkembang.

Lewat kode etik, elemen-elemen “liyan” yang berpotensi polarisasi betul-betul dihindarkan dalam pemberitaan apa pun. Artinya, praktik jurnalistik ideal di Indonesia melindungi suku apa pun, agama apa pun, ras apa pun, dan golongan apa pun dari aneka kemungkinan usikan. Juga menghormati gender, disabilitas, dan tidak mempertentangkan status sosial.

Dalam praktik berjurnalistik dan bermedia sekarang, sudahkah moralitas itu konsisten dijalankan?

Fokus kebijakan pemberitaan yang hanya berorientasi kepada tujuan viralitas memang menjadi tren. Dengan eksplorasi “daya tarik”, “magnet”, media cenderung mengelaborasi mindset tentang algoritma google demi target google adsense.

Konten-konten yang bertendensi menggali sisi-sisi “naluri purba” manusia dieksplorasi sedemikian rupa. Misalnya, konten tentang body goals perempuan, dan pemberitaan mengenai para pesohor yang pindah agama. Ada target mengaduk-aduk rasa penasaran dan “kepo” (keingintahuan) sebagai sifat dasar manusia, sehingga diniscayakan memperbanyak viewers yang mengakses berita-berita tersebut.

Hingga sekarang belum ada standar rumusan yang pasti, apakah media-media boleh menyediakan kanal komentar terhadap berita-berita yang dianggap viral, atau menyiapkan kanal pernyataan netizen untuk semua berita?

Kolom Komentar ini adalah bentuk lain yang lebih progresif (baca: “liar”) dari rubrik Surat Pembaca pada era kejayaan media cetak.

Kondisi ini memang patut dipertanyakan, mengingat celetukan-celetukan netizen itu terkesan sama sekali tidak difilter oleh redaksi. Banyak kita dapati komentar-komentar yang jelas berkualifikasi mengusik SARA dan menyuburkan polarisasi.

Artinya, kampanye tentang kepatuhan terhadap Kode Etik Jurnalistik menjadi paradoks dengan praktik media yang memberi ruang bagi “praktik” pelanggaran etika jurnalistik.

Apakah karena komentar-komentar itu adalah “karya netizen”, maka dianggap bukan sebagai produk jurnalistik, dan karena itu tidak masuk dalam jangkauan moralitas bermedia yang secara teknis membutuhkan mekanisme gate keeping berupa editing dalam cakupan kebijakan pemberitaan?

Tentu ini menjadi persoalan, karena celetukan-celetukan itu dimuat sebagai “konten formal” media mainstream. Seolah-olah praktik bermedia pada akhirnya boleh mencampuradukkan produk jurnalistik dan cuitan berstandar media sosial. Ibarat memindah utuh media sosial ke dalam media mainstream, dengan produk murninya.

Tren Gaya Buzzer
Komentar-komentar itu, sebagian terasa lebih mirip gaya buzzer yang secara ofensif menyerang pihak-pihak yang dianggap “liyan”.

Apabila narasi-narasi itu dianggap mewakili suatu kelompok dalam identitas tertentu, maka terkesan memberi keleluasaan ruang kepada praktik polarisasi. SARA bukan hanya dipermisifikasi, bahkan diberi tempat untuk “diagendakan”, berkembang, dan menyubur.

Kita tidak bisa serta merta berharap masyarakat menemukan pendewasaannya dengan membiarkan tren ini bergerak apa adanya sebagai bagian dari kehidupan kebebasan berekspresi.

Gempuran opini SARA dan polarisasi itu justru berpotensi memecah masyarakat dalam kelompok-kelompok yang merasa terwakili oleh suatu pendapat.

Dalam kondisi yang sebebas ini memberi ruang kepada polarisasi, maka penegakan aturan — seperti harapan kita untuk penertiban buzzer — adalah salah satu pilihan.

Dalam hal ini, tentulah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tak bisa semata-mata dipandang sebagai penghambat kemerdekaan berekspresi, melainkan dalam segi-segi tertentu juga sebagai rambu untuk melindungi hak warga masyarakat dari potensi serangan terhadap martabat dan keyakinannya.
Ketika konten-konten komentar seperti itu dibiarkan menyubur di berbagai media, sebagai pencampuran konten media sosial ke dalam media arus utama, apakah memang dianggap bukan sebagai risiko bagi harmoni keberagaman dan kebinekaan kita?

Lalu siapa, atau lembaga apa yang harus mengawasi? Tentu kita tidak bisa semata-mata melihat kecenderungan ini sebagai kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh konstitusi. Dalam praktik bermedia, Kode Etik Jurnalistik adalah sumber utama menjaga moralitas.

Dan, ketika segi-segi sensitif SARA dengan enteng dilangkahi dengan berbagai model pemberitaan, ketika hal ini kita sikapi sebagai bagian dari keresahan terhadap praktik bermedia, tentu tak berlebihan kita menoleh kepada Dewan Pers, lembaga penjaga nilai jurnalistik — untuk memberi jalan keluar.

Amir Machmud NS; pengajar jurnalistik di Prodi Ilmu Komunikasi Fiskom UKSW, wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah