MENURUT saya, orang yang sudah meninggal itu, tidak semuanya mengalami ketenangan dalam kuburnya.
Kecuali jika mereka termasuk orang yang beramal saleh pada masa hidupnya, maka dia dapat dijadikan sarana atau wasilah dalam berdoa kepada Tuhan.
Namun, jika dia termasuk orang yang amalnya kurang selama di dunia, maka didalam kubur dia bisa-bisa malah menerima masalah.
Lantas, jika dia termasuk yang kategori seperti itu, mungkinkah dia bisa mendoakan orang yang masih hidup?
Lha wong dia sendiri juga menghadapi masalah, bahkan, boleh jadi si mayit itu sedih, menangis dan selalu mengharap kiriman doa dari kerabat, terutama anak-anaknya yang saleh, juga doa dari sesamanya.
Saya pernah belajar dengan pawang hujan yang metodenya ketika dia akan menyisihkan atau “menolak” hujan, dia minta bantuan didoakan kerabat yang sudah meninggal, dari pihak keluarga yang minta bantuan.
Baca Juga Masruri: Ilmu Pawang Hujan-1
Lazimnya, kalau dalam tradisi agama, orang yang masih hidup itu yang mendoakan yang sudah meninggal.
Namun ada tradisi pawang hujan mengharap bantuan doa dari orang tua atau leluhur dari pihak yang minta bantuan memawangi hujan.
Karena dia meyakini, para ahli kubur itu doanya lebih manjur dibanding doa orang yang masih hidup.
Menurut sang pawang, keampuhan orang yang meninggal itu sudah tidak makan nasi dan garam, jadi seperti orang tirakat, sehingga doanya diyakini lebih ampuh.
Setiap pawang punya tradisi berbeda. Ada yang saat diminta bantuan memawangi, misalnya acara resepsi pernikahan, dia ziarah dulu ke makam leluhur dari pihak keluarga yang minta bantuan “nambak” atau menyisihkan hujan.
Selain itu, pawang juga perlu tahu nama desa yang akan dipawangi dan nama desa sekitarnya, karena kerja mereka itu bukan menolak hujan, melainkan menyingkirkan sesaat ke desa sebelah.
Salah satu mantranya: “Ya Allah kula nyuwun supados udan wekdal menika nisih, bismillah, kunfayakun, dadiya terang, dst. Ya Allah saya mohon agar hujannya saat ini menyingkir ke desa sekitar.
Setiap pawang mengamalkan mantra sesuai alirannya. Selain mantra yang “serius” kadang ada mantra jenaka, misalnya : “Langite ora sida udan ‘lamun udan mung sak uyuh jaran” (Langit tidak jadi hujan, andaikan hujan pun hanya seukuran kencing kuda), dan mantra ini dibaca sambil menancapkan sapu lidi dalam posisi terbalik.
Setiap pawang memiliki tradisi berbeda. Misalnya, menjelang resepsi pernikahan saya, langit tampak gelap.
Pawang lalu melakukan prosesi ritual, diawali ziarah kubur ke makam leluhur keluarga yang minta bantuan. Pawang juga perlu tahu nama desa yang akan dipawangi dan nama desa sekitarnya.
Karena etika kerja pawang itu bukan menolak hujan, melainkan hanya menyisihkan sesaat, sesuai doa atau mantranya, misalnya Ya Allah kula nyuwun supados udan wekdal menika nisih (Ya Allah saya mohon agar hujan saat ini menyingkir) ke nama desa sekitar. Bismillah, kunfayakun, dadiya terang, dst.
Menolak Hujan Rahmat?
Ada yang mengatakan, karena hujan itu termasuk rahmat dari Tuhan, maka menolak atau mmenyingkirkannya diyakini menolak rahmat Tuhan.
Namun ada pendapat, menyingkirkan hujan sepanjang ada nilai manfaatnya, diperbolehkan.
Dalam suatu riwayat, Nabi Muhammad SAW pernah berdoa untuk menyingkirkan hujan.
Yang kurang lebih artinya : Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk untuk merusak kami.
Ya Allah turunkanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan.