Oleh : H. Achmad Faozan
Awal abad 19 atau pada tahun 1911, KH. Ahmad Dahlan menyadari kalau kebodohan, kejumudan dan kemiskinan menjadi sebab utama terjajahnya bangsa Indonesia.
Kejumudan dan kebodohan serta kemiskinanlah yang menjadi sumber keterbelakangan yang kemudian mengusik alam pikir KH. A.Dahlan. Ada tanggung jawab moral besar setelah melalangbuana ke Mekah hingga dua kali hingga mendapatkan pencerahan dari tokoh pembaharu dari Mesir. Sampai beliau melakukan pendekatan agar diberikan kesempatan mengajar, walaupun hanya paruh waktu mengajarkan Al Islam di sekolah Hindia Belanda yang muridnya adalah kaum bangsawan atau priyayi.
Keterlibatan dalam pengajaran di Hindia Belanda serta berkumpul dengan para priyayi di pergerakan Budi Utomo itulah yang menjadikan KH Ahmad Dahlan dianggap oleh masyarakat umum sekitarnya kalau KH. Ahmad Dahlan memiliki ajaran dan keyakinan nyeleneh. Bahkan dianggap sebagai kyai kafir.
Namun jiwa pembaharuan dan berkemajuannya seakan memunculkan sikap berani menghadapi situasi dan keadaan saat itu. Lalu KH. AHmad Dahlan justru mampu mengambil inspirasi dari proses mewujudkan kelompok yang memiliki nafas dan jalan dakwah yang sama dengannya.
Pengabdiannya mengajar di sekolah Belanda seperti di OSVIA Magelang atau Kweekschool Jetis apalagi setelah bertemu orang-orang berjiwa maju dari kelompok pergerakan Budi Utomo menjadikanya makin kuat jiwanya dalam mewujudkan organisasi yang membebaskan dari kejumudan, kebodohan dan kemiskinan. KH. Ahmad Dahlan kemudian mendirikan sekolah berlanjut menjadi pergerakan Muhammadiyah.
Inilah inspirasi yang harus diteladani oleh para kader dan penggerak Muhammadiyah ke depan. Pendidikan yang menjadi awal pergerakan ini sudah semestinya mengikuti pola dan sprit yang telah ditancapkan oleh KH. Ahmad Dahlan.
Karakter berkemajuan dan berkeunggulan serta sikap visioner KH Ahmad Dahlanlah yang hingga kini Muhammadiyah tidak sekedar eksis, namun lebih dari itu prestisius. Ini pula ciri khusus progesifitas yang didasari religiusitas ala Muhammadiyah yang telah ditanamkan oleh KH Ahmad Dahlan. Kewajiban para penerusnya adalah menjaga dan merawat spirit ini hingga akhir zaman.
Sekolah adalah tempat berprosesnya membangun kader dan para penggerak, dari sekolah tersebut lahirlah sosok-sosok penerus perjuangan dan terlahir peradaban. Sekolah adalah bagian dari peradaban kecil sebelum terbentuknya peradaban utama, lewat mujahadah persyarikatan Muhammadiyah.
Sehingga membangun sekolah adalah bagian tak terpisahkan dalam proses membangun kader yang menjadi pengisi dari peradaban akhir zaman ini. Maka sekolah Muhammadiyah adalah bagian dari ikhtiar membangun peradaban itu, ketika tidak ada kesungguhan dalam mewujudkan output dan out come yang ideal (khairu ummah) akan dipertanyakan peran serta kita didalam persyarikatan ini.
Lebih jauh lagi, bila sekolah-sekolah Muhammadiyah hari ini masih terseok-seok perkembangannya, mesti harus dicari akar masalah dan harus ada tekad kuat untuk dapat memecahkan masalah itu. Berkeyakinan bahwa atas dasar progressifitas dan religiusitas sebagaimana telah menjadi karakter KH. Ahmad Dahlan mampu terselesaikan urusan membangun umat lewat peradaban yang lebih dari 1 abad telampaui.
Dan kini sudah 112 tahun kita menikmati hasil jerih payah para pendahulu. Muhammadiyah telah menancapkan spirit berkemajuan dan berkeunggulan itu kemudian saat ini Muhammadiyah hendak menaikkan level perjuangan yaitu berikhtiar mewujudukan berkemakmuran bersama.
Keberlanjutan perjuangan dengan meningkatkan mindset perjuangan (growth mindset and Change Mindset ) kemudian terwujud Muhammadiyah ini menjadi lebih memakmurkan bukan hanya untuk dirinya tetapi lebih memberikan nilai kemakmuran kepada masyarakat luas. Slogan memberi untuk negeri, bukan isapan jempol tetapi benar-benar terbukti bahwa Muhammadiyah telah berkontribusi tanpa banyak narasi.
Nah sekarang, bila kita menilik persoalan yang dihadapi oleh Muhammadiyah di daerah khususnya di Jepara, masih adanya AUM Pendidikan yang belum move on dengan konsep implementatif KH Ahmad Dahlan. Sepertinya perlu langkah nyata menyatukan mindset berkemajuan pada pimpinan di level pemangku amanah dalam hal ini Pimpinan Muhammadiyah di tingkat Cabang. Lalu pelaksananya yaitu Dikdasmen yang lebih dulu dilakukan baru kemudian pemangku amanah di lapangan. Intervensi kebijakan atas ketentuan yang menjadi kesepakatan oleh para pimpinan diatasnya hendaknya menjadi arah kebijakan dibawahnya. (*)