blank
Wayang kulit tokoh Batara Guru (kedua kakinya lumpuh dan senantiasa menunggang sapi serta bertangan empat) yang menjadi Rajanya para dewa di Kahyangan (kiri), dan Batara Guru dalam lukisan komik (kanan).(Repro: Ensiklopedi Wayang Indonesia)

WONOGIRI (SUARABARU.ID) – Perhelatan akbar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), sebagai wujud pesta demokrasi Bangsa Indonesia memilih pemimpin, telah digelar serentak di seluruh Tanah Air. Dalam pemahaman Kejawen, dari pemilihan calon pemimpin tersebut, akan melahirkan sosok pemimpin yang dinaungi Batara (Betara) Guru, yakni Dewa yang merajai para Dewa.

Hari H Pilkada untuk memilih Gubernur, Bupati dan Walikota di seluruh Tanah Air tersebut, adalah Rabu Pon (Budha Palguna) Tanggal 27 November 2024 lalu. Ini bertepatan dengan Wuku Madangkungan, Sasi Jumadil Awal Tahun Je 1958, Windu Sancaya. Dalam Buku Horoskop Jawa Misteri Pranata Mangsa (Ki Hudoyo Occ), hari tersebut masuk dalam siklus Mangsa Kanem, yang memiliki candra (sebutan) Rasa Mulya Kasucian. Artinya, mendapatkan rasa bahagia karena berbuat baik.

Batara Guru memiliki nama aseli Manikmaya. Dewa yang senantiasa memancarkan cahaya putih gemerlapan. Sosok Dewa Penguasa ini, awalnya berparas tampan rupawan. Ini yang kemudian membuat dirinya menjadi sombong. Sikap sombongnya itu, membuat Sang Hyang Tunggal tidak berkenan. Disabdalah atas sikap kesombongannya tersebut, menjadikan diri Batara Guru menderita cacat tubuh. Kaki lumpuh dan kemana pun naik lembu (sapi) serta muncul empat tangan.

Kaitannya dengan Wuku Madangkungan (Wuku Ke-20), menjadikan sang pemimpin dalam naungan Dewa Basuki, Kayunya Plasa jadi Kembange (bunganya) Alas (hutan). Ini sebagaimana tertulis dalam Babon (Induk) Aseli Kitab Primbon Betal Jemur Adam Makna, Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Harya Tjakraningrat, yang kaimpun (Disusun) oleh R Soemodidjojo.

Rabu Pon (27/12/24) Mangsa Kanem Wuku Madangkuang, memiliki lambang Bumi (kuat menerima masukan). Tapi, hari itu dalam lilitan aura Satriya Wirang, yang bila tidak berhati-hati, dapat berdampak negatif karena bisa terhinakan oleh buah perilakunya sendiri. Apalagi Rabu Pon Tanggal 27 Nopember 2024, berada dalam aura Rampas (hari tidak baik bila untuk menggelar hajatan), karena dapat berdampak negatif bila sampai berlaku sembrono dan sampai terlepas dari pengayoman Tuhan.

Delapan Dewa

”Mencermati kelahiran pemimpin dengan pendekatan Kejawen, itu merupakan bagian dari local wisdom,” kata Kanjeng Raden Arya (KRA) Drs Pranoto Adiningrat MM. Budayawan Jawa penerima Anugerah Bintang Budaya, mengatakan, local wisdom dan local genius adalah kearifan lokal (setempat), yang dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local). Mengajarkan sikap bijaksana penuh kearifan dan bernilai baik.

KRA Pranoto Adiningrat yang juga Abdi Dalem Keraton Surakarta, menyatakan, pendekatan melalui hitungan Kejawen dengan segala unsurnya (pranata mangsa, wuku, hitungan hari baik buruk dll), itu dapat dijadikan rambu-rambu bagi pemimpin dalam melangkah, untuk mengemban apa yang menjadi amanahnya.

Niscaya, bila tidak sombong seperti Batara Guru dan senantiasa berjalan dalam rambu-rambu koridor tata laku (bersikap), akan meraih sukses dan terhindarkan dari hal-hal yang dapat berujung pada kehinaan.

Persoalannya, sejauh mana sosok pemimpin itu senantiasa konsisten pada jalan (laku) delapan dewa (Dewa Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, dan Dewa Brahma atau Agni), seperti yang dirumuskan dalam Ilmu Astabrata. Asta (delapan) brata (laku atau jalan), untuk acuan pelaksanaan darma kepemimpinan yang dilandasi dengan keluhuran budi.

Asta Brata adalah wejangan (nasihat) dari Prabu Sri Rama kepada Wibisana. Itu sebagaimana tertulis dalam Kakawin Ramaya, berisi syair tentang cerita perjalanan Rama. Ditulis dalam rupa tembang berbahasa Jawa Kuno, pada periode Mataram Hindu. Tepatnya di masa kekuasaan Dyah Balitung (870 M), dan menjadi Kakawin kesohor atau Adikakawin. Selain menjadi kakawin pertama, terpanjang, dan juga terindah gaya bahasanya pada periode Hindu-Jawa.

Di dalamnya menuliskan pesan moral, bahwa alam semesta yang dianalogikan dengan dewa-dewa, menjadi keteladanan perihal tugas penyelarasan kehidupan pemimpin, untuk mencapai kehidupan harmonis. Tidak sekadar menyelaraskan dengan kawula (masyarakat) yang dipimpinnya, tapi juga dengan kosmis alam raya. Melalui sikap suwung ing pamrih (kosong dari ambisi pribadi), tebih ajrih (jauh dari takut) dan rame ing gawe (giat bekerja).(Bambang Pur)