Oleh: Dr. Djoko T Purnomo
Pelabuhan adalah infrastruktur vital yang menjadi pintu gerbang perdagangan dan ekonomi suatu wilayah. Jepara, yang dikenal dengan industri mebel dan sektor maritimnya, memiliki potensi besar untuk berkembang melalui pembangunan pelabuhan yang modern dan efisien.
Namun, banyak proyek pelabuhan yang gagal atau terbengkalai karena kurangnya perencanaan yang matang. Untuk memastikan keberhasilan proyek pelabuhan di Jepara, perlu dipertimbangkan teori kepelabuhanan: “Ship Follows the Port” atau “Port Follows the Ship”.
Sejarah dan Kondisi Eksisting di Jepara
Jepara sudah memiliki beberapa pelabuhan, seperti Pelabuhan Kartini, yang berfungsi sebagai pintu masuk ke Karimunjawa, dan Pelabuhan Tanjungjati, yang lebih berorientasi pada energi dan industri. Namun, belum ada pelabuhan besar yang berperan sebagai pusat logistik ekspor-impor. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan: Haruskah pelabuhan baru dibangun lebih dulu untuk menarik kapal (Ship Follows the Port), atau hanya dibangun jika ada permintaan nyata (Port Follows the Ship)?
Teori: “Ship Follows the Port” vs. “Port Follows the Ship”
Pembangunan pelabuhan memerlukan pendekatan strategis agar tidak menjadi proyek mangkrak. Dalam teori kepelabuhanan, terdapat dua konsep utama:
* Ship Follows the Port → Pelabuhan dibangun terlebih dahulu, lalu arus kapal dan aktivitas perdagangan mengikuti.
* Port Follows the Ship → Arus kapal dan perdagangan sudah ada, kemudian pelabuhan dibangun untuk memenuhi permintaan yang ada.
Untuk menentukan teori mana yang lebih sesuai dengan rencana pembangunan pelabuhan di Jepara, kita perlu melakukan analisis berdasarkan kondisi aktual daerah tersebut.
Permasalahan dalam Pembangunan Pelabuhan
Banyak proyek pelabuhan gagal atau mangkrak karena beberapa faktor utama:
* Perencanaan yang Kurang Matang: Studi kelayakan yang tidak akurat dapat menyebabkan pelabuhan tidak menarik bagi kapal dan industri.
* Masalah Regulasi dan Perizinan: Tata ruang, izin lingkungan (AMDAL), serta peraturan dari berbagai kementerian sering menjadi hambatan.
* Pendanaan dan Investasi: Sumber dana yang tidak jelas atau pembengkakan anggaran bisa membuat proyek terhenti di tengah jalan.
* Kurangnya Infrastruktur Pendukung: Pelabuhan membutuhkan akses jalan, listrik, air, dan sistem keamanan yang memadai agar bisa berfungsi optimal.
* Minimnya SDM dan Manajemen: Jika tidak dikelola dengan baik, pelabuhan bisa menjadi aset yang tidak produktif.
* Resistensi Sosial dan Politik: Penolakan dari masyarakat atau konflik kepentingan antar-pihak bisa menjadi kendala besar dalam pembangunan.
Kondisi Eksisting di Jepara
* Jepara memiliki aktivitas ekonomi berbasis maritim seperti perikanan, industri mebel yang bergantung pada ekspor-impor kayu, serta pariwisata ke Karimunjawa.
* Sudah ada pelabuhan eksisting, yaitu Pelabuhan Kartini, yang melayani kapal penumpang ke Karimunjawa, serta Pelabuhan Jepara (Tanjungjati) yang lebih berorientasi pada energi dan industri.
* Belum ada pelabuhan besar yang berfungsi sebagai pusat distribusi logistik ekspor-impor.
Dari kondisi ini, muncul pertanyaan: apakah pelabuhan baru harus dibangun untuk menciptakan permintaan (Ship Follows the Port), atau sebaiknya hanya dibangun jika ada permintaan nyata dari arus kapal yang tinggi (Port Follows the Ship)?
Analisis “Ship Follows the Port” di Jepara
Jika pendekatan ini diambil, artinya pelabuhan dibangun terlebih dahulu dengan harapan menarik arus kapal dan investasi. Keunggulannya:
* Memacu pertumbuhan ekonomi dengan menciptakan pusat logistik baru.
* Bisa menarik investasi di sektor industri maritim, manufaktur, dan perdagangan internasional.
* Mendorong pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang terintegrasi dengan pelabuhan.
Namun, risikonya tinggi, terutama jika tidak ada jaminan arus kapal yang cukup untuk membuat pelabuhan beroperasi secara ekonomi, infrastruktur pendukung seperti jalan dan akses logistik tidak siap, sehingga pelabuhan sulit berfungsi optimal serta bisa menjadi proyek mangkrak jika tidak ada strategi pemasaran dan insentif yang menarik bagi kapal dan industri.
Analisis “Port Follows the Ship” di Jepara
Jika pendekatan ini diambil, pelabuhan hanya dibangun setelah ada permintaan tinggi dari industri dan arus kapal.
Keunggulannya:
* Mengurangi risiko investasi karena sudah ada pasar yang jelas.
* Lebih efisien dalam penggunaan anggaran, karena pelabuhan dibangun sesuai dengan kebutuhan nyata.
* Bisa menyesuaikan spesifikasi dan fasilitas pelabuhan dengan kebutuhan industri yang berkembang.
Kelemahannya:
* Bisa kehilangan momentum pertumbuhan ekonomi jika infrastruktur pelabuhan tidak tersedia tepat waktu.
* Industri lokal mungkin akan kesulitan berkembang tanpa adanya dukungan logistik yang memadai.
* Berpotensi tertinggal dibanding daerah lain yang lebih proaktif dalam membangun pelabuhan strategis.
Mana yang Lebih Cocok untuk Jepara?
Dari kondisi yang ada, pendekatan terbaik adalah kombinasi keduanya, dengan kecenderungan ke “Port Follows the Ship”.
* Harus ada studi mendalam tentang permintaan pasar sebelum memutuskan pembangunan pelabuhan baru. Jika arus barang dari Jepara ke luar negeri sudah cukup besar dan logistik masih terkendala, maka pelabuhan memang diperlukan.
* Jika permintaan masih belum cukup tinggi, solusi yang lebih masuk akal adalah mengembangkan pelabuhan eksisting seperti Pelabuhan Kartini atau Pelabuhan Tanjungjati, dibandingkan membangun pelabuhan baru dari nol.
* Pembangunan bertahap lebih masuk akal, misalnya dimulai dengan terminal kargo kecil, kemudian berkembang seiring dengan meningkatnya permintaan.
Pendekatan Terbaik untuk Jepara
Dari analisis di atas, strategi terbaik adalah kombinasi kedua teori dengan kecenderungan ke “Port Follows the Ship”. Artinya, sebelum membangun pelabuhan baru, harus ada bukti bahwa arus kapal dan perdagangan memang sudah cukup tinggi. Jika permintaan masih rendah, solusi terbaik adalah mengembangkan pelabuhan yang sudah ada, seperti Pelabuhan Kartini atau Tanjungjati, agar lebih efisien dan sesuai dengan kebutuhan industri lokal.
Kesimpulan
Pembangunan pelabuhan di Jepara harus didasarkan pada kebutuhan nyata, bukan sekadar ambisi proyek. Dengan memastikan ada permintaan yang cukup, mengembangkan infrastruktur secara bertahap, dan menyelesaikan persoalan regulasi serta pendanaan, pelabuhan di Jepara bisa menjadi aset strategis yang benar-benar mendukung pertumbuhan ekonomi
Dasar hukum
* Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
* Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan.
Daftar Pustaka
* Cullinane, K., & Song, D. W. (2002). “Port Competitiveness: The Case of North Europe.” Transport Reviews, 22(1), 79-97.
* Notteboom, T., & Rodrigue, J. P. (2005). “Port Regionalization: Towards a New Phase in Port Development.” Maritime Policy & Management, 32(3), 297-313.
* Hayuth, Y. (1981). “Containerization and the Load Center Concept.” Economic Geography, 57(2), 160-176.
* Goss, R. (1990). “Economic Policies and Seaports: 1. The Economic Functions of Seaports.” Maritime Policy & Management, 17(3), 207-219.
* Slack, B. (1993). “Pawns in the Game: Ports in a Global Transportation System.” Growth and Change, 24(4), 579-588.
* Pusat Penelitian dan Pengembangan Transportasi Laut. (2020). “Studi Kelayakan Pengembangan Pelabuhan di Indonesia.” Kementerian Perhubungan Republik Indonesia.
* Badan Pusat Statistik Jepara. (2023). “Statistik Perdagangan dan Transportasi Kabupaten Jepara.”
* Pemerintah Kabupaten Jepara. (2023). “Rencana Induk Pelabuhan Kabupaten Jepara 2024-2035.”
Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik tinggal di Jepara