Ilustrasi.

TAHUN 90-an ketika mulai dikenal publik melalui tulisan-tulisan saya di sebuah rubrik sebuah harian di Jawa Tengah, kondisi ekonomi saya belum mapan. Honor menulis hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Saat itu saya masih tinggal di rumah mertua. Karena ada beberapa pembaca yang datang untuk konsultasi, dan sebagian dari mereka problemnya sama dengan didatangi. Maksudnya problem yang saya hadapi. Mereka minta “amalan khusus” agar cepat punya rumah.

Tentu saja saya merasa tersindir. Karena malu pada diri sendiri, saya lalu sowan Kiai Khos, minta doa atau amalan agar dapat rezeki nomplok untuk membangun rumah.

Oleh beliau saya diberi catatan doa yang harus dibaca selama 40 malam tanpa terputus. “Doa ini untuk semua hajat, asal sungguh-sungguh dan berniat baik, insya Allah terkabul,” tutur beliau.

Ketika saya amalkan doa itu, terjadi keajaiban! Pada hari ke – 33, saya menerima surat dari sebuah penerbit buku yang ingin membeli hak cipta tulisan-tulisan saya yang dimuat sebuah harian.

Baca juga Kesaktian Versus Logika

Saya lalu mengumpulkan guntingan naskah, dan setelah terkumpul lalu saya antar langsung ke penerbit. Uniknya, kesepakatan jual-beli naskah itu tepat pada hari ke-40 bersamaan saya menyelesaikan doa 40 malam itu.

Naskah itu pada awal tahun 1995 dihargai Rp750.000.  Nilai uang sejumlah itu, jika dihitung berdasarkan nilai dolar tahun 1995 per 1 dolar AS Rp 2.240 sekarang, sekitar Rp 4.820.000. Tentu banyak tertawa, membuat rumah hanya bermodal nekat. 

Keajaiban

Bersyukur, buku perdana disambut positif oleh pasar. Itu tidak lepas dari peran teman-teman yang membuat “Resensi Buku” dsb. Dalam waktu singkat, buku cetak ulang. Adanya respon positif itu, penerbit memesan naskah baru. Satu naskah selesai, menyusul naskah berikutnya.

Proses pembangunan rumah berlangsung cepat. Dan hampir 95 persen murni hasil menulis. Bahkan pernah, hari Rabu dana menipis, padahal Sabtu harus membayar tiga tukang, muncul ide menulis tiga buku Serial Kastubi (Anekdot Metafisika) Pengantar: KH. Mustofa Bisri dan Prie GS.

Buku itu saya tulis bertahap. Satu naskah selesai, saya kirim ke penerbit. Sambil menunggu proses cetak, saya menyelesaikan naskah edisi berikutnya.

Belakangan, doa itu saya berikan teman yang memerlukan, namun kebanyakan gagal dan tidak mampu mengamalkan rutin 40 malam. Salah satu faktor keberhasilan “mengetuk” pintu langit itu faktor keterdesakan yang memicu kesungguhan: “Man jadda wa jada.”

Orang yang menjalani laku rohani dalam kondisi “terdesak” beda hasilnya dengan mereka yang secara ekonomi sudah mapan. Terbukti, setelah saya menulis banyak buku, ada yang datang untuk minta amalan itu.

Pengalaman mereka saat dengan doa itu beragam. Ada yang bermodal awal Rp.600.000,- saat sudah mulai, ada saja rezekinya.

Dia mengaku, istrinya sering panik, karena suaminya sedang tidak kerja. Yang ajaib, banyak saudara dan kenalan menawarkan bantuan, namun dia tidak mau, khawatir  saat yang membantu itu perlu uang, dia sedang tidak ada.

Pre-Induksi

Banyak pembaca buku dan teman-teman Facebook inboks minta amalan doanya. Padahal konsep itu sudah saya tulis lengkap dengan doanya dalam buku berjudul “Doa Pengundang Sukses”.

Baca juga Kebiasaan, Takdir Kapindho  

Menurut keyakinan saya, doa atau amalan itu berkahnya ditentukan dari bagaimana proses mendapatkannya. Itu karena setiap langkah kaki dan tetes keringat, diperhitungkan oleh Malaikat yang mencatat amal manusia.

Maka, tentu beda berbeda kualitasnya antara mereka yang dapat “catatan ilmu” dari Mbah Google, dengan mereka yang mendapat  ilmu dnengan naik bus ke luar kota, dari terminal ke kediaman Guru jalan kaki 30 menit, sampai kediaman menunggu Guru berjam-jam, setelah itu baru bisa bertemu dan diberi ijazah ilmu.

Bentuk seleksi kesungguhan itu, bukan sekedar jauhnya jarak yang harus ditempuh. Ada juga amalan (mantra atau wirid) yang diberikan Guru yang tidak boleh ditulis.

Murid diwejang atau diijazahi dengan ketentuan, Guru mengucapkan amalannya sekali atau maksimal tiga kali. Jika murid langsung hafal, dianggap lulus! Istilahnya, palduk. Kalau hafal, langsung jadhug (sakti).

Proses wejangan tradisi lama itu menjadikan calon murid fokus menerima wejangan hingga benar-benar mendengarkan, mengingat dan menghafalnya. Kalau zaman sekarang diuji yang seperti ini, diam-diam menyiapkan rekaman.

Masruri , penulis buku, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan, Cluwak, Pati