blank
Ilustrasi. Foto: Ist

blank

AWAL kali menulis buku tahun 1995, oleh penulis senior saya  dinasihati untuk tidak buru-buru “mata duitan.” Dikisahkan, ayah beliau dulu pernah menulis kitab dan diterbitkan oleh penerbit milik muridnya.

Kitab itu dicetak sekian, dan dilaporkan (hanya) sekian. Karena itu, jika sudah berniat menulis, utamakan berbagi ilmu. Jika ada yang mau menerbitkan, itu sudah bagus. Soal nanti ada uang naskah atau royalti, anggap itu sebagai bonus.

Yang dialami Ayah beliau itu setelah kitab sudah beredar, banyak pembaca yang datang untuk mengaji isi kitab itu, hingga majlis beliau bertambah ramai, dan itu berdampak rezeki yang tidak diduga-duga pun ikut datang.

Seperti unen-unen (ungkapan) Jawa, “wong yen wis duwe jeneng, jenang teka dhewe”. (Orang itu jika sudah punya nama, jajan (rezeki) datang sendiri). Karena ilmu itu seperti harta, jika ditebar atau disedekahkan, justru semakin bertambah berkah.

Baca juga Ajian Sirep untuk Mencuri

Rubrik dan Buku

Yang saya alami, tahun 1993-1996 saat saya menulis pada rubrik di sebuah harian Jawa Tengah. Saat menulis saya tidak pelit berbagi rahasia seputar metafisika.

Sesuatu yang dianggap sakral dan atau “rahasia perusahan” sesekali saya buka, hingga para praktisi memosisikan saya sebagai “musuh”.