blank
Pep Guardiola dan Thomas Tuchel. Foto: Ist

Oleh Anto Prabowo 

blankWe beat the best team in Europe and the best manager,”  kata pelatih Chelsea Thomas Tuchel kepada pers seusai timnya mengalahkan Manchester City di semifinal Piala FA Emirates Inggris Sabtu (17/4) lalu. Wajah Tuchel penuh senyum. Ada ekspresi kebanggaan ketika menyatakan hal itu. Tapi juga tersirat apresiasi yang mendalam kepada “rival” nya, Pep Guardiola yang menangani The Citizen.

Pilihan diksi “the best team” dan “the best manager” adalah sebuah pujian. Tidak hanya saat itu saja dia melontarkan penilaian positifnya pada City. Pada kesempatan lain, dia juga mengatakan  bahwa Manchester City dan Bayern Munchen saat ini adalah dua tim yang bisa menjadi model bagi tim tim lainnya.

Sebaliknya, Pep Guardiola pun menyatakan pujian pada Tuchel pada jumpa pers sehari sebelum pertandingan. Ada pertanyaan wartawan, “Apakah Anda terkejut dengan prestasi yang dihasilkan oleh Chelsea di bawah Tuchel?”, Pep menjawab, “Tidak, sama sekali tidak! Saya mengenalnya dengan baik. Tidak pernah mudah melawan tim yang diasuh oleh Tuchel.”

Thomas Tuchel pernah menangani klub Bundesliga Mainz dan Borussia Dortmun, ketika Pep menjadi manajer di Bayern Munchen.  Dari lima kali pertemuan, Tim Tuchel tidak pernah menang. Tapi Bayern pun cuma pernah menang sekali. Artinya, pertandingan lebih banyak seri.

Di luar pertandingan sepak bola, keduanya pun beberapa kali bertemu. Menu pembicaraannya, antara lain tentu perkembangan dunia sepakbola. Maka wajar jika keakraban terjadi di antara mereka. Coba simak saat keduanya masuk ke arena pertandingan, sebelum berpisah untuk duduk di kursi pelatih masing-masing. Akrab sekali. Beda sekali ketika Pep bertemu dengan Mourinho.

Ini model rivalitas yang sehat, seperti halnya Messi dan Christiano Ronaldo. Rivalitas yang saling memicu kedua pihak yang bersaing mencapai puncak-puncak kemampuannya. Filsuf Prancis Rene Girard mengatakan, rival bisa berperan sebagai model, di mana terjadi mimesis (peniruan) di dalamnya.

Akankah rivalitas keduanya berlangsung lama? Bisa saja. Tentu jika mereka awet menangani tim masing-masing. Dan Chelsea – City selalu berada di puncak-puncak klasemen di Liga Premier, seperti halnya Madrid – Barcelona di La Liga.

Tim yang Kelelahan

Dari sisi waktu, Manchester City adalah tim yang lebih sial dibanding Chelsea. Keduanya memang menjalani laga-laga perempat final dan berhasil lolos ke semi final. Tapi Chelsea punya masa istirahat yang lebih lama, tiga hari, sementara Manchester City hanya dua hari. City main di perempat final leg ke 2 Liga Champions pada 15 April, dan bertanding dua hari kemudian di semi final Piala FA.

Kekhawatiran bahwa City kalah pun sempat saya tuangkan dalam tulisan berjudul “Jadwal Gila Manchester City” di media ini.

Pep Guardiola tak leluasa untuk menurunkan tim terbaiknya. Dari 11 pemain yang dipilihnya saat lawan Chelsea, hanya 3 pemain yang diturunkan sebagai starting eleven saat lawan Dortmund, yaitu Kevin de Bruyne, Rodri, dan Ruben Diaz. Sebaliknya Chelsea, yang kondisinya lebih segar, bisa mamainkan 7 pemain yang jadi starting eleven lawan Porto.

“Perjudian” Pep berakibat serius. Kevin de Bruyne mengalami cedera, dan digantikan Phil Foden. Kemungkinan dia tak bisa dimainkan saat final Piala Liga (Carabao Cup) dan semifinal leg pertama Liga Champions melawan PSG. Sebuah kerugian yang sangat besar. Sejak awal memang terasa sekali Kevin de Bruyne tidak maksimal. Gerakannya lambat. Pemain yang biasanya menonjol dengan dribbling dan passing, kala itu tak kelihatan perannya sama sekali.

Pemain-pemain pilihannya pun gembos. Sterling beberapa kali membuang peluang. Gabriel Jesus pun seperti tak bisa apa-apa. Aymeric Laporte pun tak mampu  menjaga Timo Werner. Dia kalah sprint sehingga Timo bisa lolos dan memberikan assist pada Hakim Ziyech, yang menghasilkan gol tunggal di pertandingan itu. Bek Benyamin Mendy pun tampak menjadi sosok yang lemah ketika mengawal Ziyech.

Yang jelas Manchester City yang tampil di semifinal Piala FA itu sangat berbeda dari City yagn tampil di perempat final leg ke-2 lawan Dortmund. Maka wajar jika Chelsea menang dan Thomas Tuchel menjadi orang yang sangat bahagia saat itu.

Pasti kekalahan City itu tidak akan menghapus persahabatan di antara keduanya. Siapa tahu Pep dan Tuchel akan bertemu dalam beberapa hari ini, sambil ngopi bareng. Dan Pep berkata, “Bro, kita akan bertemu di final Liga Champions ya!”***

Anto Prabowo, penikmat sepakbola