Oleh Dr KH Muchotob Hamzah MM
III. Mizan Siyasiyah
Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, bentuk negara umumnya berupa monarchi kerajaan yang gagal mizan kecuali yang rajanya juga nabi.
Meski ada yang tampak sejahtera, kekayaan negara lebih banyak dieksploitasi oleh raja dan kroninya. Hal itu karena politik anggaran tidak melibatkan aspirasi dan pengawasan rakyat.
Pantaslah ulama asal Austria, Leopoldo Weiss (Muhammad Asad) menyatakan bahwa sistem monarchi kerajaan tanpa parlemen, tidak sejalan dengan Islam.
Mizan politik dalam Islam tidak pernah berubah karena semua diktumnya sesuai dengan fithrah manusia (QS. 30/30).
Yaitu menjalankan “Tafwiedh” atau pelimpahan untuk terwujudnya “Kehendak Allah SWT” berupa mizan pengelolaan alam (QS. 55/8) dan keadilan bagi Aku dan Mereka alias rakyat (QS. 5/8). Pelimpahan itu disebut “khilafat” (QS. 2/30).
Supra sistem khilafat dalam Islam sebagai ibadah ghairu mahdhah tidak bersifat konstan, tetapi bisa berkembang sesuai zamannya.
Pernah ada sistem kerajaan, yang juga disebut Khalifah seperti Nabi Dawud as.(QS. 38/26). Khalifah juga bisa bermakna ganda.
Pertama, bermakna kepala negara, lafal pluralnya disebut “Khulafa'”(QS. 7/69 dan 74; 27/ 62) sehingga ada istilah khulafa’ ar-rasyidin.
Pada ayat yang disebut akhir itu Allah SWT langsung mengingatkan agar khalifah tidak sok kuasa karena tidak ada yang pantas dituhankan selain Allah.
Kedua, bermakna semua manusia yang diserahi pelimpahan dari Allah SWT. untuk mengelola bumi ini, lafal pluralnya adalah “Khalaa’if” (QS. 6/165; 10/14 dan 73; 35/39).
Ketika Rasulullah saw.diutus, khilafah berubah drastis. Kekuasaan Nabi SAW. tidak berbentuk kerajaan, tetapi didasarkan kepada “Piagam Madinah” (10 Bab; 47 pasal versi Montgemory Watt) hasil kesepakatan beliau dengan warga negara Madinah, yang mirip dengan negara republik.
Prinsip dalam negara Madinah (jamaah kubra) harus terjadi mizan Aku dan Mereka. Kepala negara dan warganya menunaikan kewajiban (juty) dan menerima hak (right) seperti dicontohkan dalam salat (jamaah shughra).
Sebagai kepaka negara, nabi saw. tetap diperintah untuk santun pada rakyatnya (QS. 26/215) dan dimotifasi untuk ishlah an-naas=berdamai dengan seluruh manusia (QS. 4/114).
Sampai wafatnya, beliau tidak menunjuk pengganti kepemimpinan, sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa sistem kerajaan monarchi telah dinasakh oleh beliau. Selanjutnya estafet kepemimpinan diserahkan mizannya pada permusyawaratan.
Berbeda dengan zaman now, mizan politik kala itu, trias politika (legislatif, eksektutif dan yudikatif) tidak dilembagakan. Karena mizannya telah nenyatu dalam diri Nabi SAW. Sebagai:
1. Legislatif, Gustav Weil dalam History of the Islamic People menyatakan, Muhammad adalah pembina sistem hukum yang paripurna.
2. Eksekutif, Stanley Lane Pool menulis, Muhammad sebagai eksekutor dan penegak hukum yang sangat tangguh. Montgemory Watt menulis, bahwa Muhammad sangat ahli dalam administrasi dan menejerial.
3. Yudikatif, Sir William Muir dalam Life of Muhammad menulis, bahwa Muhammad berlaku adil dan sederhana.
Waktu itu setelah sistem Islam dibawa oleh Napoleon ke barat, sistem perpolitikan Islam digali oleh ilmuwan Barat. Sistem musyawarah dilembagakan (legislatif), Amar ma’ruf nahi munkar kepada eksekutif yang semula dilakukan sekenanya dilembagakan via legislatif dan berakhir di yudikatif.
Hakim Agung (yudikatif) yang semula ditunjuk oleh eksekutif, lalu ditunjuk bersama eksekutif dengan persetujuan legislatif. Lagislatif yang semula ditunjuk hanya oleh eksekutif, dipilih oleh rakyat. Bedanya, di barat disekularkan.
Ini wujud upaya tegaknya khilafah via adanya mizan. Maka sejatinya NKRI dan negara manapun yang menerima “tafwidh” adalah kekhilafahan. Lanjut eps. 3 insya Allah…
Dr KH Muchotob Hamzah MM, Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo