SEMARANG (SUARABARU.ID) – Masih dalam semarak perayaan Hari Bahasa Ibu Internasional 2025, Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah menggelar acara Dialog Publik bertema “Bahasa Daerah Mendukung Pendidikan Bermutu untuk Semua”.
Salah satu narasumber yang juga pakar bahasa Jawa, Bambang Sulanjari menyampaikan, upaya pelestarian bahasa daerah harus dilakukan secara aktif dan melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah, instansi pendidikan, maupun masyarakat.
“Jawabannya cuma satu, saya di mana-mana nembang,” ujar Bambang di Gedung Balairung, Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, belum lama ini.
Bambang menjelaskan, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Tengah telah mewajibkan penggunaan aksara Jawa dalam menuliskan papan nama SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) sejak tahun 2021.
“Hal serupa juga dilakukan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah, yakni mewajibkan penggunaan aksara Jawa pada papan nama setiap sekolah di Jawa Tengah sebagai bagian dari program pelestarian bahasa daerah,” tambah Bambang.
Bambang juga menyoroti tantangan dalam memasukkan bahasa daerah ke dalam kurikulum nasional. Meskipun sudah ada upaya memasukkan bahasa daerah sebagai muatan lokal (mulok), dia berpendapat bahwa hal tersebut belum optimal.
“Hal itu sebenarnya bertentangan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, yang selayaknya memberikan tempat bagi bahasa daerah sebagai bagian dari pendidikan nasional,” tambahnya.
Narasumber lain, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Jepara, Ali Hidayat, S.Pd., M.M., menyoroti peran bahasa daerah dalam pendidikan di kabupaten/kota. Menurutnya, bahasa daerah bukan hanya alat berkomunikasi, melainkan juga identitas budaya yang harus dilestarikan.
“Bahasa daerah mencerminkan identitas dan keunikan suatu daerah. Selain itu, bahasa daerah adalah warisan budaya yang harus dihormati, dijaga, dan dilestarikan oleh negara sebagai warisan budaya nasional,” ungkap Ali.
Ali menjelaskan keterkaitan antara bahasa daerah dan tingkat literasi masyarakat. Meskipun ada anggapan bahwa masyarakat yang bahasa ibunya adalah bahasa Indonesia cenderung memiliki tingkat literasi lebih baik, hal itu tidak boleh menjadi alasan untuk mengesampingkan bahasa daerah dalam pendidikan.
“Pendidikan yang berkualitas harus merata dan dapat dirasakan oleh semua masyarakat, termasuk mereka yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa utama,” tambahnya.
Ali juga menyebutkan sederet pencapaian Jepara dalam upaya pelestarian bahasa daerah, khususnya dalam pembangunan kebahasaan dan kesastraan. Beberapa inisiatif yang mendapat perhatian antara lain, lomba duta lima anti di Kabupaten Jepara tingkat SMA yang meliputi kampanye antiintoleransi, antiperundungan (bullying), antipelecehan dan pernikahan dini, anti-KKN dan judi online, serta antinapza, Revitalisasi Bahasa Daerah melalui penyelenggaraan festival dan kompetisi.
“Tahun 2024 Jepara dipercaya Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah sebagai tuan rumah Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) Tingkat Provinsi Jawa Tengah sekaligus peringatan Hari Sumpah Pemuda. Pemecahan rekor MURI dalam kategori menulis pitutur luhur dengan aksara Jawa di daun lontar terbanyak berhasil diraih oleh Jepara pada tahun 2024,” terangnya.
Ali menambahkan, dengan berbagai upaya tersebut, diharapkan bahasa daerah tetap hidup dan berkontribusi dalam menciptakan pendidikan yang bermutu untuk semua.
“Perayaan Hari Bahasa Ibu Internasional 2025 menjadi momentum untuk terus menyerukan pentingnya pelestarian bahasa daerah sebagai bagian dari identitas dan kekayaan budaya bangsa,” tandasnya.
Ning S