JEPARA (SUARABARU.ID)- Moncernya hasil produksi kopi dari para petani di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, membuat masyarakat semakin banyak yang membuka lahan baru untuk ditanami kopi.

Namun, ada kekhawatiran besar terkait dampak pertumbuhan perkebunan kopi terhadap ekosistem desa. Kenaikan harga kopi di pasaran membuat masyarakat semakin bersemangat membuka lahan baru. Hal ini memunculkan tren mengurangi pohon naungan di lahan pertanian, karena dianggap memperlambat produktivitas kopi.
Dalam beberapa tahun terakhir, perkebunan kopi di Desa Tempur mengalami pertumbuhan pesat. Menurut keterangan salah satu anggota Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Tempur, Rujono, mengatakan, salah satu faktor utama yang mendorong perkembangan ini adalah kerja sama antara petani dengan perhutani, yang memungkinkan pengelolaan lahan hutan untuk budidaya kopi.
BACA JUGA: Meningkatnya Perkebunan Kopi di Desa Tempur Jepara dan Tantangan Lingkungan
“Hasil kopi terus meningkat dari tahun ke tahun, karena semakin banyak lahan yang dikelola dengan baik”, ujar pria yang juga pemilik merk Hilwa Kopi ini, kepada suarabaru.id Senin (17/2/2025).
“Namun yang tidak kalah penting adalah keseimbangan lahan antara perkebunan kopi dan keberadaan pohon naungan yang ada di sekitar lahan pertanian”, lanjut Rujono.
Naungan sangat penting untuk menjaga kelembapan tanah dan ekosistem sekitar. “Jika terlalu banyak pohon ditebang demi produktivitas kopi jangka pendek, maka dalam jangka panjang kita bisa menghadapi risiko erosi dan menurunnya kesuburan lahan,” jelasnya.
Menurutnya jika tren ini terus berlanjut, program reboisasi yang selama ini berjalan baik bisa terancam. Hingga saat ini, belum ada regulasi atau pembatasan resmi dalam pembukaan lahan baru untuk perkebunan.
BACA JUGA: Kopi Tempur Jepara, si Hitam Pekat yang Nikmat
“Pemerintah desa berupaya mengawasi pengelolaan lahan melalui kerja sama dengan Perhutani. Kami juga melakukan edukasi kepada petani melalui GAPOKTAN agar tetap menerapkan sistem pertanian yang berkelanjutan,” tambah Rujono yang juga sebagai Sekretaris Gapoktan Desa Tempur.
Dengan semakin berkembangnya perkebunan kopi di Desa Tempur, tantangan utama ke depan adalah bagaimana menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan kelestarian lingkungan, agar warisan alam yang telah dirawat bertahun-tahun tidak terganggu oleh ekspansi yang tidak terkendali.
Masa Depan Desa Tempur: Menuju Desa Wisata Berbasis Ekologi
Pemerintah Desa Tempur memiliki visi untuk menyeimbangkan pengembangan ekonomi dengan kelestarian lingkungan. “Kami ingin meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam mengelola lingkungan, agar pertumbuhan ekonomi tidak merusak alam,” beber Rujono.
Salah satu langkah yang tengah disiapkan adalah menjadikan Desa Tempur sebagai desa wisata berbasis ekologi. “Kami ingin Tempur menjadi destinasi yang tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga mengedukasi pengunjung tentang pentingnya konservasi alam,” tambahnya.
Namun, desa masih membutuhkan berbagai bentuk dukungan, terutama dalam bentuk sosialisasi kepada masyarakat dan bantuan bibit tanaman buah untuk reboisasi. “Kami mengajak semua pihak untuk berkontribusi dalam menjaga lingkungan Desa Tempur. Mari bersama-sama menciptakan desa yang aman, bersih, dan sehat,” ajaknya.
Perjalanan panjang Desa Tempur dalam menghadapi tantangan ekologi menunjukkan bahwa masyarakat dan pemerintah desa memiliki komitmen kuat untuk menjaga kelestarian lingkungan. Dari upaya penghijauan hingga kerja sama dalam pertanian berkelanjutan, langkah-langkah kecil ini memberikan harapan besar bagi masa depan desa.
Dengan dukungan dari berbagai pihak, Desa Tempur dapat menjadi contoh desa yang sukses menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan pelestarian alam. Langkah yang kita ambil hari ini akan menjadi jejak besar bagi generasi mendatang.
ua