WONOGIRI (SUARABARU.ID) – Nyekar berasal dari akar kata Sekar (bunga). Yakni melakukan ziarah kubur untuk mendoakan para roh arwah leluhur, yang disertai dengan penaburan bunga di pusara makam. Waktu nyekar dapat dilakukan setiap saat. Tapi masyarakat Jawa, banyak yang mentradisikan nyekar pada Bulan Ruwah (Sya’ban).
Dalam Almanak Menara Kudus Tahun 2025 M, disebutkan bahwa Hari Jumat Pon (31/1/25) merupakan Tanggal 1 Sya’ban 1446 atau Tanggal 1 Ruwah 1958. Bulan Ruwah akan berlangsung sampai dengan Sabtu Pahing Tanggal 1 Maret 2025 mendatang. Kemudian Tanggal 1 Ramadhan 1446 H jatuh Minggu Pon Tanggal 2 Maret 2025.
Budayawan Jawa peraih Anugerah Bintang Budaya, Kanjeng Raden Arya (KRA) Drs Pranoto Adiningrat MM, menyatakan, mengapa nyekar ditradisikan di Bulan Ruwah ? Karena ada kepercayaan bulan dimaknai sebagai bulan untuk meRUhi arWAH. Pranoto yang Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta ini, menyebutkan, untuk nyekar biasa memilih hari yang neptu-nya ganjil.
Pemilihan neptu (nilai) ganjil, mendasarkan pada pemahaman local genius pada petung (perhitungan) Gunung, Guntur, Segara, Asat. Usahakan yang jatuh pada hitungan Gunung atau Segara, agar memiliki tuah kebaikan untuk semuanya. Dicontohkan, hitungan hari neptu ganjil, seperti Minggu Wage (16/2/25) neptunya 5+4=9, Kamis Pon (20/2/25) neptunya 8+7+15, Sabtu Kliwon (22/2/25) neptunya 9+8=17, Senin Pahing (23/2/25) neptunya 4+9=13. Rabu Wage (26/2/25) neptunya 7+4=11 dan Jumat Legi (28/2/25) neptunya 6+5=11.
Dalam Buku Bauwarna Adat Tata Cara Jawa (Drs R Hamanto Brata Siswara), penerbit Yayasan Surya Sumirat-Jakarta 2000, uraian tentang nyekar dituliskan pada halaman 501. Buku Bauwarna Tata Cara Adat Jawa, termasuk ensiklopedi Kejawen. Ensiklopedi adalah kumpulan informasi yang disajikan dalam bentuk buku atau digital, yang berisi keterangan tentang berbagai bidang ilmu pengetahuan, yang disusun secara alfabetis dan dilengkapi dengan indeks.
Tradisi nyekar di Bulan Ruwah ini, biasa diawali dengan bersih kubur. Yakni kerja bakti gotong royong masyarakat untuk membersihkan makam. Ini, lazim dilakukan pada Tempat Pemakaman Umum (TPU) yang tidak memiliki kuncen atau juru kunci. Pada pemakaman yang memiliki juru kunci, untuk menjaga kebersihannya dilakukan secara rutin, tidak harus menunggu datangnya Bulan Ruwah.
Juru Kunci
Tidak hanya bertugas membersihkan makam secara rutin, tapi peran kuncen juga memberikan pelayanan nyekar jarak jauh. Ini sebagaimana dilakukan oleh Bani, Juru Kunci TPU Lo Manis, Kampung Sanggrahan, Kelurahan Giripurwo, Kecamatan Wonogiri Kota, Kabupaten Wonogiri, Jateng.
”Bagi keluarga yang tinggal di Surabaya, Jakarta atau di luar Jawa, yang tidak memiliki waktu datang ke makam, biasa menelpon saya untuk minta tolong disekarkan,” ujar Bani. Sebagai konsekuensinya, mereka menstranfer uang pembelian bunga.
Lo Manis, termasuk TPU besar di Kota Wonogiri. Di Lo Manis, dimakamkan sejumlah tokoh leluhur, seperti orang tuanya Menteri Kehutanan (era Bung Karno dan Pak Harto), Sudjarwo. Juga dimakamkan Almarhum R Danupranoto (Bupati Wonogiri yang menjabat Tahun 1948-1950), serta sejumlah tokoh penting lainnya.
Dari sisi ritual, tradisi nyekar dipahami sebagai hal yang memiliki nilai positif. Yakni menjadi wahana memperkuat tali salaturrahim lintas-alam, juga menjadi sarana mempertebal keimanan akan kehidupan setelah dunia. Interpretasi terhadap makna tradisi nyekar, mencakup nilai kebudayaan dan aspek kepercayaan, juga melibatkan ranah sosial kemasyarakatan dan juga aspek ekonomi.
Masyarakat Jawa menyakini, arwah yang didoakan dan mendapat anugerah bisa mulih marang mula nira (kembali ke alam ke-Allah-an), dapat menjadi perantara atau semacam wasilah untuk mendorong permohonan (mereka yang nyekar) kepada Tuhan. Harapannya, permohonannya cepat dikabulkan Tuhan.
Demikian halnya saat nyekar ke makam orang suci atau ke para tokoh yang semasa hidupnya terkenal mempunyai kedekatan dengan Tuhan. Seperti para tokoh yang semasa hidupnya dikenal mempunyai daya linuwih (sejenis karomah) yang dapat digunakan membantu dan menyelamatkan sesamanya. Misalnya, tokoh karismatik seperti Wali, Sunan, Auliya, atau guru-guru spiritual yang memiliki kemampuan di luar jangkauan nalar manusia biasa.(Bambang Pur)