blank
Event wisata budaya wayangan Minggu Legen, Lakon Gojali Suta, akan dimainkan oleh dua dalang dalam gelaran dua bentang kelir.(Dok.Panji Wulung)

WONOGIRI (SUARABARUBARU.ID) – Pagelaran wayang kulit semalam suntuk, Sabtu malam nanti (18/1/25) sampai Minggu dinihari (19/1/25) besok, akan dipentaskan dalam acara memeriahkan Malem Minggu Legen di Gedung PKK Kelurahan Giritirto, Kecamatan Wonogiri, Kabupaten Wonogiri. Ini menjadi event wisata budaya di Kabupaten Wonogiri.

Menampilkan dua dalang, yakni Ki Alifian Nur Rochmad dan Ki Ahsan Hidayat. Duet dalang muda penuh bakat ini, akan berkolaborasi membawakan lakon Gojali Suta, yang dibeber dalam dua bentang gelaran kelir. Keduanya, akan menghidupkan antawecana tokoh wayang, yang saling bersahut-sahutan di kelirnya masing-masing, dan adegan perang tanding di masing-masing kelirnya.

Dua dalang muda penuh talenta ini, merupakan lulusan Pasinaon (Kursus) Pedalangan Sanggar Panji Wulung Wonogiri. Wayangan Minggu Legen ini, untuk memeriahkan peringatan hadeging (berdirinya) Sanggar Panji Wulung Kabupaten Wonogiri, Jateng.

Ki Alifian NR dikenal sebagai dalang sabet yang kaya inovasi. Alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dari program studi Seni Pedalangan ini, tergolong dalang laris menerima tanggapan dari warga masyarakat. Alif, begitu panggilan akrabnya, mampu memainkan 4 tokoh wayang Buta Cakil (Gendar Menjalin) sekaligus di episode Perang Kembang. Juga mahir memainkan wayang Buta ukuran raksasa, dalam gerak dinamis atraktif dengan tingkat kesulitan yang tinggi.

Ki Wahid Ahsan Hidayat, merupakan dalang dengan prestasi juara. Pada festival dalang remaja Tahun 2003, memenangi festival dalang yang digelar bersamaan dengan acara peringatan Hari Jadi Kabupaten Klaten Tahun 2023 yang disatukan dengan HUT Ke-78 Republik Indonesia (RI) di Rumah Joglo Tumiyono, Klaten. Setiap kali sekolahnya menggelar ulang tahun, Wahid, selalu diminta mendalang.

Lakon Gojali Suta, merupakan perangnya Bapak-Anak. Tersebutlah, Prabu Boma Narakasura alias Sitija bermurung hati (depressif). Ia mondar-mandir di sitihinggil istana Trajutrisna dengan sesekali tangan mengepal dan giginya terdengar gemeretak oleh panandang (derita) yang tengah melilitnya.

Boma dilanda kemelut rumah tangga. Istrinya, Dewi Hagnyanawati, berselingkuh dengan Samba (Wisnubrata) yang adiknya sendiri lain ibu. Bahkan, kedua insan itu secara terbuka menyatakan saling jatuh cinta dan telah kumpul kebo di Dwarawati (Kerajaan Prabu Kresna sebagai Sang Ayah).

Disuwing-suwing

Samba dari Kesatriyan Parang Garuda, menyadari skandal cintanya dengan kakak ipar sangat berisiko, maka ia memutuskan untuk sementara tinggal di Dwarawati. Pamrihnya, ingin mendapatkan perlindungan dari Kresna sebagai Sang Bapak.

Sambil meraba kening dan menggaruk kepala meski tidak gatal, Boma yang duduk di singgasana membuka pembicaraaan, akan menikahkan Samba dengan istrinya. Karena itu, kemudian memberikan titah agar menghadirkan keduanya ke Trajutresna.

Kepada Patih Panjatnyana, Boma, menjelaskan, ini merupakan jalan keluar terbaik, meski terasa dilematis, sangat pahit dan menyakitkan. Satu sisi, Samba telah menginjak-injak martabatnya. Di sisi lain, ia tidak bisa memungkiri bahwa Samba adalah adik yang paling ia sayangi. Sementara itu, Dewi Hagnyanawati tidak lagi memiliki cinta kepada dirinya. ”Patih, kiranya akan sia-sia bila rumah tangga saya yang tidak lagi diwarnai ikatan cinta, bila harus saya pertahankan,” tandas Boma.

Karena itu, segera diutus Ditya Maudara dan Ditya Ancakogra ke Dwarawati. Keduanya bertugas membawa Samba dan Hagnyanawati ke Trajutrisna, untuk dinikahkan secara resmi sebagai suami-istri. Tapi setelah tiba di Trajutresna, Boma (putra Kresna dari istri, Dewi Pertiwi) yang dirasuki sukma Bomantara dan terprovokasi Patih Pantjatnyana, terbakar amarah dan tega menganiaya Samba (putra Kresna dari Permaisuri Dewi Jembawati).

Samba dipadangnya sebagai sosok iblis laknat. Serta merta diseret, diinjak-injak dan digebuki. Seluruh tubuhnya disempal-sempal, hingga tidak berbentuk lagi, sampai akhirnya tewas dengan cara dicabik-cabik (disuwig-suwing) layaknya binatang. Khabar sadistis ini, terdengar hingga Dwarawati. Maka Prabu Kresna pun bersikap tegas, demi tegaknya hukum, memberikan sanksi setimpal kepada Boma.

Tapi Boma menolak sanksi hukuman dan malah menantang Kresna untuk berperang. Maka, terjadilah peperangan sengit antara ayah dan anak, yang disebut sebagai Gojali Suta. Boma mati dipanah dengan Senjata Cakra. Tapi setiap mati, dia bisa hidup lagi karena badannya menyentuh tanah. Ini berkat keampuhan Aji Pancasona Bumi pemberian ibunya. Baru mati, setelah raganya disangsangkan atau ditaruh dalam anjang-anjang (sejenis jaring) oleh Gathotkaca, agar raga Boma tidak menyentuh tanah.(Bambang Pur)