Terbayang terang benderang dalam benak soal utang, pinjol, gadaian, depresi sanak famili, sertifikat rumah, tanah dan apa-apa yang tinggal landas, membuat nyali mereka berada pada satu persimpangan krusial. Bumiratakan segala segi keuangan dan terjun dengan berani toh kepalang tanggung, atau berhenti, tapi dihantui sakau judi setengah mati. Opsi kedua nyatanya tak banyak diminati, keselamatan diri adalah upaya pengecut untuk kabur pada saat detik-detik terakhir.
Maka opsi pertamalah yang kebanyakan diambil oleh pemuda berjiwa zeus ini. Hiraukan segala hitungan, ukuran dan pertimbangan. Sementara rungkad urusan belakangan, selagi jari jemari masih percaya diri menari di atas layar hape, melihat kemungkinan cuan berlipat-lipat walau sekecil butir debu, tak ada yang muskil di dunia ini. Libass!
Tapi dasar entah nasib sial atau bodoh kelewat bodoh, aksi terjun dengan berani itu berakhir dengan terjun bebas yang membikin kenyataan menjungkirbalikan segala angan-angan, menyadarkan yang tertidur, menampar yang mengiggau, menusuk jantung yang mati berkali-kali, agar segera merasa sakit dan mengerti arti dari “waras” pada pengertian yang paling gamblang.
Tak pelak logika mereka menyambar rentetan ingatan alam bawah sadar selama ini, betapa dalam jurang yang mereka gali sendiri. Ramai-ramai berloncatan mengakhiri buai mimpi paling indah, seketika bangun dan terjaga dalam kesadaran yang getir, pelik, membingungkan dan buntu.
Tak kurangnya suatu cerita para kaum alpa ini dengan sendirinya merenggut nyawa pada kondisi yang terhimpit dan mengenaskan: Bunuh diri. Tak sanggup menghalau ledakan bom waktu yang mereka rakit serta atur sendiri kapan ia melepaskan dentumnya ke udara. Tak ubahnya teroris yang mengunci bom tubuh lewat kerelaan yang sukar dipahami.
”Itu kan karena di cuci otaknya.“, tulis cuitan di media sosial. Lha, lantas siapa yang mencuci otak para sloter itu? Setan? Iblis? Bandar? Institusi? Atau jangan-jangan memang sebuah proyeksi kelompok jaringan internasional yang bermandat otoritas? Yang terpusat di Kamboja atau Taiwan itu?
Ah! Konon kebenaran sekarang ini memang bukan lagi ala ala orde baru, yang gampang menunjuk batang hidung, siapa yang salah, siapa yang benar, sesuai selera. Melainkan dibuktikan secara terstruktur, sistematis dan masif.
Pastinya entitas yang paling kuasa terhadap segala akses sumber daya teknologi digital, ya, otoritas itu sendiri. Sejak dulu masyarakat kan tidak tahu menahu, tahu-tahu budaya bergeser, tahu-tahu inflasi tinggi-tinggian, tahu-tahu krisis, tahu-tahu reformasi, tahu-tahu zaman beralih. Di dalam serba ketidaktahuan itu, tahu-tahu masyarakat yang disasar, tahu tahu dikorbankan atas nama perjuangan dan pembangunan nasional, masyarakatlah yang pada akhirnya menjadi tumbal sejarah.
Fenomena sosial adalah gejala kolektif yang bersemayam di batas alam sadar masyarakat. Slot bisa menghantui siapa saja. Termasuk pemuka agama yang kemana-mana memakai peci dan berbusana serba putih. Saat ketahuan menggali lubang utang ke mana-mana, orang-orang merasa linglung, lelaki yang sederhana dan solehnya bukan main itu kok ya doyan ngeslot. Pandangan mereka sekejap berguguran perihal kopiah yang melukis kesolehan, putih yang berbalut kesucian dan kesederhanaan.
Ujung-ujungnya orang jadi merasa wajib untuk meluapkan segala amarah, kebencian, melontarkan macam-macam sumpah serapah yang dapat mewakili serinci mungkin perasaan hina yang mendera.
Berbagai cibiran itu adalah niscaya bagi seseorang dengan status sosial yang disematnya, walau sebetulnya sumbangsihnya terhadap acara keagamaan berangkat pada suatu bentuk kerelaan belaka. Tentu apabila ditimbang sesuai neraca kemanusiaan yang wajar, perlakuan masyarakat tak sepenuhnya setimpal.
Namun begitulah kesalahan. Selalu semacam itu. Apalagi menyangkut judi yang berimbas pada ekonomi, faktor vital kelangsungan hidup. Tak ada pembelaan yang serasa layak diucapkan atau didengarkan. Tapi biar bagaimana pun, slot adalah fenomena sosial yang merebak, menjamur dan meradang di berbagai lini kehidupan sosial. Menjelma gerak kolektif kesadaran alpa yang destruktif.
Tapi tunggu dulu, bukankah kita memang hidup pada sebuah tatanan sosial politik yang alpa? Bukan cuma slot belaka. Njungkal njungkelnya situasi bangsa hari ini bukankah karena para pejabatnya yang berbondong-bondong ketiduran di kursi kemudi? Yang membahayakan rakyatnya pada sebuah turunan tajam di antara jurang-jurang? Yang menempatkan rakyatnya pada suatu percaturan politik berlandas hukum taruhan.
Yaa, kalau dipikir-pikir mengapa para sloter makin hari makin marak dan gandrung, barangkali satu di antaranya sebab representasi dari bobroknya mentalitas para pemimpin. Hegemoni kealpaan para pejabat yang berhasil merasuk ke benak rakyatnya.
Yang membedakan antara para sloter dan pejabat barangkali demikian, apabila sloter membikin dirinya sendiri njungkel ke jurang, sementara pejabat yang oleh karena kepandaian siasat politisnya, ia berhasil selamat dengan cara mengorbankan rakyatnya sendiri njungkal–njungkel ke dasar-dasar jurang sosial, ekonomi serta hukum, dengan suatu bentuk kerelaan yang sukar dimengerti.
Catur Pramudito Damarjati, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial & Komunikasi, Universitas Kristen Satya Wacana