Oleh Silvani Andalita
KENDARAAN listrik atau Electronic Vehicle (EV) dipandang sebagai solusi masa depan untuk mengurangi emisi karbon, tetapi limbah baterai yang dihasilkannya menciptakan tantangan serius bagi lingkungan.
Baterai lithium-ion, yang menjadi tulang punggung EV, memiliki umur terbatas. Dengan peningkatan adopsi EV, diproyeksikan bahwa jumlah baterai bekas, aus, dan pasti menjadi residu akan meningkat drastis pada tahun 2030, menuntut solusi daur ulang yang inovatif dan berkelanjutan.
Sebanyak 80% baterai lithium-ion yang digunakan dalam kendaraan listrik dirancang untuk bertahan sekitar 8–10 tahun. Menurut survei Populix, rata-rata penggunaan mobil listrik harian adalah 10–50 km (29%) dan 51–100 km (23%). Sementara itu studi dari Geotab pada
6.000 kendaraan listrik menunjukkan rata-rata penurunan kapasitas baterai sebesar 2,3% per tahun.
Jadi, dari segi data produsen, daya tahan baterai kendaraan listrik hingga sepuluh sampai lima belas tahun atau sekitar 160.000- 200.000 km. Artinya, dalam 8-10 tahun baterai masih memiliki lebih dari 80% kapasitas.
Maka dapat diperkirakan pada 10-15 tahun mendatang limbah baterai EV ini akan hadir sebagai sampah yang berjibun di lingkungan sekitar kita, tanpa kita memahami bagaimana cara pengelolaannya.
Menurut perhitungan International Energy Agency (IEA), diperkirakan lebih dari 11 juta ton limbah baterai lithium- ion akan dihasilkan pada tahun 2030, seiring dengan peningkatan produksi dan masifnya kendaraan listrik global.
Limbah baterai, termasuk baterai alat elektronik pada umumnya, mengandung logam berat seperti kobalt, nikel, dan mangan. Sebagai contoh, sebuah baterai lithium-ion berkapasitas 1 kWh dapat mengandung hingga 8 kg kobalt, 5 kg nikel, dan 2 kg mangan. Jika tidak dikelola dengan benar, limbah ini dapat mencemari tanah dan air, di mana 1 gram logam berat seperti kobalt dapat mencemari hingga 1.000 liter air tanah.
Limbah baterai di seluruh dunia diperkirakan mencapai 11 juta ton pada tahun 2030, menambah tantangan besar dalam pengelolaan lingkungan. Selain itu, proses penambangan bahan mentah untuk baterai juga memiliki dampak lingkungan yang signifikan, termasuk deforestasi dan emisi karbon yang tinggi.
Untuk itu diperlukan solusi daur ulang baterai yang berkelanjutan sejak dari awal produksinya. Proses daur ulang baterai tidak hanya dapat mengurangi jumlah limbah yang berakhir di lingkungan, tetapi juga membantu meminimalkan kebutuhan akan penambangan bahan baku baru.
Teknologi daur ulang yang efisien diharapkan dapat memulihkan ekstraksi kembali logam-logam berharga dari baterai bekas untuk digunakan kembali dalam produksi baterai baru; dengan catatan pengelolaan sampah baterai bekas ini juga harus tepat, mulai dari pengumpulannya yang terorganisir, hingga pengumpulan dan penampungan sementaranya.
Kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pengelolaan limbah baterai juga memainkan peran kunci agar baterai bekas tidak dibuang sembarangan, melainkan disalurkan ke pengelolaan yang tepat. Dengan pendekatan tersebut, kita dapat menciptakan serta melindungi lingkungan dari dampak negatif limbah baterai dan penambangan bahan bakunya.
*) Silvani Andalita lulusan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan UNIKA Soegijapranata Semarang, saat ini bekerja sebagai praktisi hukum dan lingkungan di sebuah perusahaan swasta. Pernah bekerja di Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup Bali sebagai Coordinator Research E-Waste Management (Battery).