Oleh Muh Khamdan
PEMBANGUNAN Alun-alun Jepara dengan anggaran sekitar 4 miliar rupiah yang bersumber dari bantuan Provinsi Jawa Tengah, menjadi topik hangat di tengah masyarakat. Penganggaran biaya yang lumayan fantastis untuk revitalisasi, alun-alun ini seharusnya menjadi ruang publik yang inklusif, mencerminkan kebutuhan seluruh warga, termasuk penyandang disabilitas. Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan ketidakhadiran perspektif hak asasi manusia (HAM) dalam perencanaannya. Padahal, beberapa waktu Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, yang merupakan putra asli Jepara sudah berkunjung langsung di pendopo Bupati Jepara.
Salah satu persoalan paling mencolok adalah minimnya fasilitas untuk penyandang disabilitas. Tidak ada ramp yang memadai, guiding block untuk tunanetra yang belum diterapkan secara tepat, atau fasilitas ramah disabilitas lainnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa kebutuhan kelompok rentan masih dipinggirkan dalam kebijakan pembangunan infrastruktur.
Padahal, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pemerintah berkewajiban untuk menyediakan aksesibilitas di ruang publik. Alun-alun, sebagai simbol ruang inklusif dan demokratis, seharusnya mencerminkan nilai tersebut. Ketidakhadirannya bukan hanya dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap semangat keberagaman dan kesetaraan.
Lebih dari sekadar tempat rekreasi, alun-alun adalah wajah kota sekaligus etalase penghargaan terhadap hak asasi manusia. Namun, pembangunan ini tidak menunjukkan kesadaran terhadap HAM. Ruang hijau yang minim, kurangnya tempat duduk yang nyaman untuk lansia, serta ketiadaan ruang laktasi bagi ibu menyusui menunjukkan bahwa fasilitas ini hanya memprioritaskan estetika, bukan fungsi sosialnya.
Dalam konteks HAM, ruang publik harus dirancang untuk menjamin hak setiap individu. Ini mencakup hak atas lingkungan yang sehat, hak untuk berkumpul, hingga hak untuk merasa aman. Tanpa pemenuhan aspek-aspek tersebut, sebuah proyek pembangunan, betapapun megahnya, tidak lebih dari monumen kosong yang mengabaikan kebutuhan nyata masyarakat.