blank
Jalanan berhiaskan lampiron, dan peserta Grebeg Sudiro melakukan arak-arakan menyusuri kawasan Pasar Gede Solo. Foto: Tangka[pan layar Youtube Ditjen PBCB
Kawasan di daerah Pasar Gede itu diberi nama Sudiroprajan, untuk mengenang ketokohan sang jenderal Si Jin Kui, yang tangguh. Mereka yang tinggal di sini juga rang-orang yang tangguh dalam berdagang dan berdiaspora.

Sudiroprajan, seperti tertulis dalam Babad Solo, semula bernama Balong kemudian bernama Sudiroprajan yang menjadi Kawasan untuki tinggal kaum Tionghoa. Pada masa pemerintahan Belanda, kawasan-kawasan dagang berbasis suku memang dipisahkan. Maka ada komunitas pedagang Arab di Pasar Kliwon, pedagang Madura di Sampangan (Sampang nama kota di Madura), dan pedagang dari Bali ada Kampung Kebalen.

Pada masa abad ke-18 dan 19, Kraton Kasunanan membutuhkan untuk mengisi kas pemerintahnya. Raja memerlukan bantuan warga Tionghoa, kemudian kepada mereka diberikan jabatan untuk mengelola pasar atau tempat hiburan, dan lainnya. Pendapatan dari pengelolaan ini, sebagian penghasilan itu kemudian masuk ke kas pemerintahan keraton.

Baik Sunan Pakubowono maupun Mangkunagoro, memang akrab dengan kalangan Tionghoa di sini. Bukan semata sebagai penguasa dan warga, tetapi relasi antarmanusia yang begitu tampak.

Misalnya, Mangkunagoro VII, yang diceritakan baru datang dari luar kota dia tidak langsung pulang dulu ke Mangkunegaran. Dia mampir dulu ke rumah seorang kapiten, dan berdialog. Dialog yang menarik, misalnya, “Masak apa hari ini?” Jadi hubungannya bukan sekedar pedagang dengan pembeli atau penguasa dengan bawahannya.

Dari Bok Teko Menjadi Grebeg Sudiro

Relasi dengan Paku Buwono X, misalnya, juga diceritakan ketika Sang Sunan hendak minum teh-gula batu di Kampung Balong (Sudiroprajan sekarang). Sunan Pakubuwono dalam perjalanan menuju Kampung Balong, sesampai di jembatan kecil yang kini menjadi taman hijau Sudiro Kuncoro, tutup teko tehnya jatuh, dan hingga kini tidak ditemukan.

Kemudian Pakubuwono X memberi nama pundhen atau batu di jembatan itu dengan nama Bok Teko, yang sekarang masih ada. Menjelang Imlek, tempat ini digunakan oleh para warga melakukan sedekah Bok Teko.

Teko kemudian menjadi simbol, tutupnya sebagai simbol penguasa dan tekonya simbol rakyat. Dalam perkembangan selanjutnya, tradisi Bok Teko ini kemudian menjadi Grebeg Sudiro yang sekarang kita kenal.

Keakraban warga  Sudiroprajan baik mereka yang Jawa maupun Tionghoa memamng sangat nyata. Mereka tinggal di tempat yang sama. Proses pembauran atau akulturasi masyarakat Tionghoa, sejak kedatangan mereka pertama kali pada ratusan tahun lampau, mampu menciptakan bermacam bentuk budaya baru.

Maka wajar terjadi pertukaran budaya, asimilasi, dan akulturasi. Orang Jawa di Sudrioprajan biasa memainkan Barongsai atau Liong. Bahkan ada kolm pemain music khas Cina, yang semua pemainnya orang Jawa.

Arak-Arakan

Pada puncak perayaan Imlek, dalam gelaran Grebeg Sudiro ini, warga pun mengarak gunungan yang ditata dalam jodang, lalu ditandu berkeliling. ada perebutan aneka makanan dan lainnya yang disusun menyerupai gunung atau sering disebut gunungan dan diangkut memakai jodhang atau tandu.