JEPARA (SUARABARU.ID) – Lahir dari generasi “lemah” di dusun Branang Desa Pelemkerep Mayong Jepara 43 tahun yang lalu membuat Agus Farid Amrullah demikian mencintai dunia lempung, tanah liat yang menjadi bahan baku membuat keramik.
Karena itu selepas pendidikan SLTA, Farid memilih melanjutkan di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogyakarta pada jurusan kriya seni dengan peminatan keramik. Ia merasa memiliki chemistry dengan “lempung” yang menjadi bagian hidup leluhurnya.
Sebab laki-laki yang akrab dipanggil Aik atau Lebon oleh teman-temannya ini memang berasal dari dinasti lempung. Neneknya sejak masih muda memang bergulat dengan tanah liat, tepatnya sebagai perajin kendi. Orang di wilayahnya sering menyebut pekerjaan ini sebagai ekonomi lemah (tanah).
Namun agak menyedihkan, penerus perajin kendi Branang kini bisa dihitung dengan jari. Hanya tinggal sekitar 5 orang yang masih bertahan membuat kendi. Padahal gerabah Branang, Pelemkerep usianya lebih tua ketimbang Kasongan.
Lebon sendiri kini melanjutkan “dolanan lemah” seperti saat bocah. Namun karena mendapat pendidikan secara formal dengan teori-teori yang lebih mendalam mengenai lempung, akhirnya lebih memilih dolanan lempung untuk kesenian.
Banyak karyanya yang luar biasa jadi koleksi para kolektor. Bahkan dia bisa menciptakan karya seni dengan teknik yang dia kembangkan saat masih bocah. “Ya saat masih bocah saya sering membuat cacing cacingan dan ular ularan dari tanah liat dengan cara dipilin,” ungkapnya.
Teknik pilin ini dia terapkan di tugas akhir kuliah untuk mendapatkan gelar sarjana seni. Bahkan menurut dia teknik pilin ini justru mendapatkan apresiasi dari dosen dan di tiru oleh banyak adik kelasnya.Teknik pilin itu seperti cacing yang saling sambung menyambung hingga memerlukan kesabaran dan perhitungan tepat. Sebab jika tidak, bentuknya bisa berantakan saat dibakar.
Saat ini Aik melayani pesanan dari koleganya orang Amerika. Selain dolanan lempung Farid ternyata juga mampu melukis dengan baik, dan acap kali mendapat order untuk melukis duplikasi lukisan dari para seniman luar negeri.
Apa ini plagiasi? Ternyata tidak. Karena lukisan duplikasi yang dia buat akan dikonsultasikan kepada pelukis asli untuk mengkoreksi kekurangannya, sehingga lukisan duplikasi ini layak jual tentu saja di bawah harga lukisan aslinya. “Kira kira ya bukan onderdil palsu, tapi onderdil KW lah kira-kira,” ujarnya. Selain itu dia juga sering melayani lukis pada mebel
Sebetulnya Farid ingin sekali membagi ilmunya kepada para perajin gerabah Mayong dengan teknik dan teori baru agar gerabah Mayong yang lebih tua usianya dibanding Kasongan, bisa lebih berkembang.
Sayangnya sulit sekali merubah pola pikir perajin. Mereka terlanjur menikmati pola lama ketimbang menerima hal baru. Sepertinya apa yang dirasakan Farid lebih kurang sama seperti yang di rasakan seniornya di Mayong Lor yaitu Kasturi. Bahwa tidak mudah mengubah pola pikir masyarakat.
Sayang sekali Farid, seniman lemah dariBranang, Pelepkerep ini kurang berminat tampil dan menonjolkan diri. Dia lebih memilih ngamandito di ruang kerjanya ketimbang menjadi “pendekar”.
Hadepe – Kang Munif