blank
Land subsidence dan pengaruh ruang Kota Semarang. Foto: Dok/Pribadi

Oleh : Tjoek Suroso Hadi

LAND Subsidence atau penurunan muka tanah pada kota-kota pesisir utara Pulau Jawa terus berlangsung dengan tingkat akurasi yang berbeda di wilayah-wilayah tertentu.

Ada bagian wilayah dengan struktur tanah yang khas, mungkin mengalami penurunan muka tanah lebih dalam daripada wilayah lain.

Perbedaan percepatan penurunan wilayah, disebabkan karena bergantung pada jenis agregat tanah itu sendiri. Dan penurunan muka tanah itu mampu menembus jarak sejauh beberapa kilometer dari batas pantai. Namun secara umum, data penurunan muka tanah di kota Semarang rata- rata 12 cm/tahun.

Kemudian Kecamatan Genuk mengalami penurunan tanah 8,1 cm sampai 15 cm setiap tahunnya. Sedangkan Semarang Barat mengalami penurunan tanah dari 4,1 cm sampai 12 cm setiap tahun (sumber dari: DPU Kota Semarang).

Dari data diatas, betapa Kota Semarang, jika di prediksikan sampai 20 tahun kedepan, maka diperkirakan Semarang akan mengalami penurunan muka tanah 12cm x 20 tahun = 240 cm, setara dengan 2,4 meter. Oleh karena itu, jika pada saat tahun 2044 maka rata-rata permukaan tanah di kota semarang lebih rendah 2,4 meter dari permukaan laut, ini adalah fakta perhitungan riil.

Banyak para dosen, dan para pakar yang sering membuat penelitian-penelitian tentang perihal tersebut, sepertinya belum membayangkan betapa kelak 20 tahun kedepan, bentuk wilayah Kota Semarang seperti apa.?.Apakah kita akan meniru Negeri Belanda, dimana sepertiga wilayahnya dibawah permukaan laut ?.

Pertanyaannya adalah, apakah tahun 2044 Kota Semarang benar-benar, muka tanah pesisirnya mencapai 2,4 meter? Kita yang hidup di tahun-tahun ini, mestinya tetap memprediksi, kelak kota semarang akan di desain seperti apa, ketika sebagian wilayahnya mengalami penurunan muka tanah mencapai 2,4 meter?

Jika kita merunut kembali kondisi sejarah kota-kota pesisir jawa ini, khususnya di Kota Semarang, Demak, Purwodadi, Kudus, Pati, Rembang, maka pada abad ke 16, kota-kota tersebut masih berua laut.

Pada abad ke 16, kondisi Pantai Pesisir Kota Semarang, Demak, Purwodadi, Kudus, Jepara, Pati dan Rembang, masih berupa laut, dan Gunung Muria masih terpisah dengan daratan

Jika data kondisi pantai pesisir pada abad ke 16 itu adalah nyata, maka “dimungkinkan” penurunan muka tanah khususnya kota-kota tersebut merupakan pengulangan kembali pada masa lalu. Hal mana, karena kondisi tanah pesisir pada abad ke 16, masih berupa laut, yang akhirnya tertimbun oleh letusan Gunung Muria serta sedimentasi yang terus menerus yang terakumulasi menjadi daratan baru. Sehingga dari pertambahan tanah yang berlangsung berabad-abad itu mampu menjadi wilayah perkotaan baru.

Ciri yang paling outentik adalah adanya kawasan Pati Ayam (Kudus-Pati), yang pernah ditemukan artefak-artefak biota laut. Kemudian di wilayah Purwodadi ada kawasan Bledug Kuwu, yang menghasilkan air berasa “asin”, dan dijadikan bahan untuk garam. Namun dari hasil temuan oleh para peneliti dan para pakar, penurunan muka tanah ini, diperparah dengan semakin massive nya “pabrik-pabrik industri” dalam memanfaatkan ABT (Air Bawah Tanah) secara berlebih.